Jakarta – Rektor Universitas Negeri Islam (UIN) Salatiga Profesor Zakiyuddin Baidhawy mengingatkan agar seluruh tenaga pendidik dapat membangun lingkungan yang toleran baik di sekolah maupun di perguruan tinggi.
“Hal ini menjadi penting agar bisa mencegah terjadinya kekerasan di satuan pendidikan,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Selasa (21/11).
Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang dirilis pada 2022, menunjukkan bahwa 26,9 persen atau satu dari empat peserta didik berpotensi mengalami hukuman fisik, serta satu dari tiga anak di sekolah berpotensi mengalami perundungan.
Ia mengatakan bahwa terjadinya tindakan kekerasan di lingkungan pendidikan salah satunya disebabkan kurangnya pemahaman mengenai sikap toleransi yakni menghargai, menghormati, dan menerima perbedaan antar sesama.
Berkaca dari riset yang dilakukan oleh SETARA Institute for Democracy and Peace pada Januari-Maret 2023 yang dilakukan di Sekolah Menengah Atas (SMA) pada lima kota besar yakni Bandung, Bogor, Surabaya, Surakarta, dan Padang, kata dia, angka toleransi pelajar berada di 70,2 persen, intoleran pasif 24,2 persen, intoleran aktif 5 persen, dan potensi terpapar intoleran 0,6 persen.
Menurutnya, jumlah pelajar yang menerapkan sikap intoleran di lingkungan sekolah mengalami peningkatan dibandingkan riset yang dilakukan SETARA pada 2016.
“Remaja pada kategori intoleran pasif bertransformasi menjadi intoleran aktif dari 2,4 persen di 2016 menjadi 5 persen di 2023, demikian juga pada kategori terpapar, mengalami peningkatan dari 0,3 menjadi 0,6 persen,” ucapnya.
Menurutnya, sikap toleran atau saling menghargai dapat dibangun bersama-sama di lingkungan pendidikan, baik pengajar maupun para pelajar, yakni dengan tidak mengutamakan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) atau kepercayaan tertentu dalam menerima hak dan kemudahan di sekolah.
Kemudian, memfasilitasi ibadah dan memberikan pelajaran agama dan kepercayaan sesuai dengan keyakinan peserta didik, membiasakan sikap menghargai kepada mereka yang memilih memakai atau tidak memakai atribut SARA atau kepercayaan.
Selanjutnya adalah dengan membiasakan sikap menghargai mereka yang memilih atau tidak memilih untuk mengucapkan selamat atas perayaan hari besar agama atau kepercayaan tertentu, membiasakan sikap menghargai proses pencalonan maupun hasil pemilihan pemimpin dalam lingkup satuan pendidikan tanpa adanya sikap diskriminatif terhadap SARA atau kepercayaan tertentu.
Pembudayaan wawasan kebangsaan dan mainstreaming toleransi dalam pendidikan keagamaan di sekolah-sekolah guna membentuk karakter toleransi siswa, kata dia, juga menjadi hal yang tak kalah penting, selain juga pemberian fasilitas peningkatan kualitas pengajaran bagi pendidik agar semakin kontributif pada peningkatan sikap toleransi di sekolah.
“Dan perlu juga untuk melakukan pencegahan, pendampingan, pengawasan, dan pembinaan khususnya bagi seluruh tenaga pendidik dan siswa agar lebih toleran dalam menghadapi iklim perbedaan,” kata Zakiyuddin.