Semarang – 20 mantan narapidana terorisme (napiter) mencatatkan rekor
Museum Rekor Indonesia (MURI) pada kegiatan Seminar Nasional dan
Pemecahan Rekor MURI “Pencegahan Paham Radikalisasi Bagi Mahasiswa
Indonesia Menuju Generasi Emas 2045” di Universitas Semarang (USM),
Kamis (9/11/2023)..
Mereka bercerita tentang bagaimana dulu salah jalan sehingga akhirnya
menjadi teroris dan mendekam di penjara. Ke-20 napiter itu juga
mengungkapkan proses pertobatan yang membawa mereka kembali ke
pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ke-20 mantan
napiter adalah mitra deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) yang berhasil kembali ke masyarakat.
Eks Napiter yang juga Ketua Yayasan Persadani Sri Pujimulyo Siswanto
menceritakan latar belakang terpapar terorisme karena lemahnya
pendidikan agama dalam keluarga. Ia kemudian tertarik untuk mengikuti
kegiatan di masjid sekitar rumahnya untuk mendalami agama.
“Namun justru dari situlah saya mulai mengikuti pengajian yang
mengajarkan pola pengajaran dan pembinaan keagamaan yang berbeda.
Seiring berjalannya waktu munculah sikap merasa benar sendiri,
membatasi pergaulan dengan orang yang tidak sekomunitas dan mulai
membenci pemerintah,” ungkap Sri Puji.
Setelah sekian lama mengikuti pengajian itu, Sri Puji pun bergabung
dengan jaringan Noordin M. Top dan Dr. Azahari. Ia mengaku dua kali
tersangkut pidana terorisme. Tahun 2005 akhir, kemudian tahun 2010
pertengahan.
Pada kasus pertama, Puji terlibat terorisme karena menyembunyikan
teroris Noordin M Top dan Dr Azahari. Kemudian kasus kedua, dia
menyembunyikan Abu Tholut. Puji pernah ditahan di Nusakambangan, Mako
Brimob, dan Lapas Kedungpane.
Ia mulai sadar saat dipenjara pada kasus kedua. Saat itu ia ikut
program deradikalisasi dari pemerintah dan BNPT, ada diskusi, dialog
dari berbagai kalangan. Setelah bebas dari penjara untuk kedua kalinya
dan telah mengikuti deradikalisasi, Puji ingin kembali ke masyarakat.
Namun ternyata hal itu tidak semudah yang dibayangkan karena rekam
jejaknya sebagai napi terorisme.
Sempat mendapat stigma negative sebagai mantan napiter, Sri Puji
akhirnya bisa meyakinkan tetangganya kalau sudah tidak seperti dulu.
Ia akhirnya diberi kepercayaan Ketua RT tempat tinggalnya untuk
menjadi ketua takmir masjid
“Dengan Pak RT yang punya pola pendekatan merangkul saya, memberi
kepercayaan kepada saya. Ini tidak mudah, jadi saya mencoba hal
terbaik,” kata Puji.
Eks Napiter lainnya, Joko Priyono menceritakan awal mula ia terpapar
dan bergabung dengan jaringan radikal terorisme. Itu berawal saat
mulai aktif sebagai aktivis masjid di kampus tempatnya dulu dan
menjadi Rohis Fakultas pada 1993. Kala itu ia mempelajari agama Islam
secara utuh.
Joko kemudian mulai aktif di kajian–kajian kelompok radikal dan
terlibat dalam kasus penangkapan teroris di Caruban, Madiun pada 15
Mei 2019.
“Karena itu saya ingatkan, adik-adik mahasiswa agar dapat mempelajari
agama dengan guru yang jelas dan benar,” ungkap Joko.
Hadir dalam seminar itu, BNPT RI Komjen Pol. Prof. Dr. Rycko Amelza
Dahniel, MSi, beserta jajaran pimpinan BNPT diantaranya Plt. Deputi
Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi Brigjen. Pol. Drs.
Imam Margono, Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Irjen.
Pol. Ibnu Suhaendra, Direktur Pencegahan BNPT Prof. Dr. Irfan Idris
M.A, serta beberapa pejabat eselon lainnya.
Pada kesempatan itu, Kepala BNPT kembali menegaskan bahwa radikalisme
dan terorisme tidak sesuai dan mengancam keutuhan NKRI. Di mana paham
radikal terorisme pada awalnya tumbuh dari bibit intoleraansi yang
merupakan sikap dan pemikiraan yang tidak bisa menerima perbedaan.
Kepala BNPT juga menyampaikan bahaya paham radikal terorisme yang
dapat merusak lestarinya peradaban umat manusia dan merobek-robek
human kind.
“Paham ini ajarkan kekerasan, menebar kebencian, melakukan kekejian
dan kebiadaban kepada manusia tanpa pandang bulu bagi yang tidak mau
mengikuti keinganan/ideologi mereka. Ideologi ini sungguh meninggalkan
realitas kehidupan umat manusia yang penuh dengan kasih sayang,”
terang Rycko.
Kepala BNPT juga menyampaikan penghargaan dan apresiasi yang tinggi
kepada Universitas Semarang (USM), sebagai universitas yang pertama
kali mampu membangun infrastruktur dan mendeklarasikan diri sebagai
kampus kebangsaan. Kampus USM menjadi pelopor kampus yang menjaga
keindonesiaan.