Yogyakarta – Sebanyak 19 eks narapidana terorisme (napiter) kini telah
hidup berdampingan dengan masyarakat khususnya di Kabupaten Sleman
Para mantan napiter itu sampai dengan saat ini masih dalam
pendampingan oleh Pemkab setempat dan pihak kepolisian.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Sleman Indra
Darmawan, mengungkapkan wilayah Sleman masyarakatnya cukup terbuka,
khususnya ketika menerima pendatang baru. Disamping itu terdapat pula
perguruan tinggi yang hampir sebagian besar berada di Kabupaten
Sleman.
“Ini memberikan efek baik. Sayangnya ada efek negatifnya juga. Karena
keterbukan itu justru banyak hal negatif yang masuk. Salah satunya
paham radikalisme,” katanya, saat diskusi Prioritas Polri
Penanggulangan Terorisme, Radikalisme dan Intoleransi bersama Bidhumas
Polda DIY, Rabu (31/7/2024).
Diakui Indra pihaknya sulit menyaring dan menghambat informasi yang
tidak sesuai ideologi bangsa. Menurutnya perkembangan paham
radikalisme diwilayah Sleman tidak terlihat namun kondisinya
mengkhawatirkan.
“Tidak terlihat tapi mengkhawatirkan. Kalau kita ngomong intolerensi,
setelah itu kan ada radikal sampai terorisme,” terang dia.
Bahkan suatu daerah di Sleman yang dianggap aman-aman saja, ternyata
disitu sudah menyebar paham-paham radikal. Termasuk di perguruan
tinggi juga menjadi pintu gerbang masuknya berbagai ideologi.
“Kami kemudian karena keterbukaan itu akhirnya disetiap tempat
potensial. Kalau itu diperkotaan berarti keterbukaan tinggi apalagi
masuk dunia perguruan tinggi. Tetapi itu justru bisa dimasuki dengan
mudah. Diskusi-diskusi terhadap ideologi dunia masuk di situ,” terang
Indra.
Indra menegaskan semua wilayah di Sleman rawan terpapar paham
radikalisme. Sebab itu pihaknya berharap masyarakat meningkatkan
kewaspadaan terutama terhadap pendatang baru.
“Di Sleman hampir semua daerah rawan. Makanya masyarakat harus
waspada, selalu memastikan tetangga baik-baik saja,” ujarnya.
Terkait adanya 19 eks napiter yang tersebar di Sleman, pihaknya
mengaku belum sepenuhnya melakukan pendampingan intensif.
“Ada 19 eks napiter di Sleman , kami belum menjangkau seluruhnya,
hanya sekadar memberikan pemahaman dan suport bermasyarakat. Untuk
deradikalisasi tentu kepolisian dan instansi lain,” ucapnya.
Sementara eks Napiter sekaligus mantan anggota Jamaah Ansharut Daulah
(JAD) Sodikin, mengaku beruntung dapat kembali ke NKRI. Ia dulunya
divonis oleh pengadilan penjara selama tiga setengah tahun dan
mendapat remisi enam bulan karena bersedia kembali ke NKRI.
“Awalnya dulu saya diajak teman lama. Waktu itu diberi gambaran bahwa
Imam Mahdi akan muncul dan negara kalifah akan muncul,” katanya.
Karena ia percaya dengan hadits yang menyebut kebenaran dari Imam
Mahdi, Sodikin pun lalu percaya dan mulai mengikuti kegiatan JAD.
“Saya pun diberi tugas untuk merekrut anggota dengan cara dakwah dari
rumah ke rumah,” ungkapnya.
Dari pengalamannya, Sodikin mengatakan cara rekrutmen JAD melalui
pemahaman agama yang dari satu sisi saja.
“Makanya ciri-ciri orang mengajak radikalisme itu yang mudah
mengkafirkan seseorang,” tegasnya.