Rawan Penyebaran Radikalisme, Mahasiswa Wajid Hati-Hati Bermain Media Sosial

Jakarta – Banyak cara penyebaran paham radikal dan terorisme, mulai
dari kajian agama, hubungan keluarga, bahkan media sosial. Penyebaran
radikalisme di media sosial memiliki kerawanan lebih besar ketimbang
media konservatif lainnya karena bersifat terbuka dan nyaris tanpa
saring.

Laporan We Are Social menunjukkan, pada Januari 2023 jumlah pengguna
aktif media sosial di Indonesia mencapai 167 juta orang. Dari sisi
usia, pengguna aktif media sosial didominasi generasi milenial dan
generasi z, termasuk kelompok mahasiswa.

Direktur Pencegahan Densus 88 Antiteror Polri, Brigjen Tubagus Ami
Prindani, mengatakan kebiasaan tanpa menyaring bisa membuat penyebaran
paham radikal cepat meluas. Masyarakat, terutama mahasiswa harus
waspada dan berhati-hati dalam menerima dan menyebarkan berita yang
tidak bisa dipastikan tingkat kebenarannya.

“Sempat ditemukan kasus fenomena mahasiswi terlibat dalam terorisme di
salah satu perguruan tinggi swasta di Indonesia. Kasus itu sangat
kompleks pasalnya pelaku tidak pernah bertemu dengan kelompok radikal,
tetapi terdoktrin paham radikal melalui media sosialnya,” beber
Tubagus dalam Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB),
Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Negeri Surabaya
(Unesa) dikutip dari laman unesa.ac.id, Senin (28/8/2023).

Dia mengingatkan radikalisme dan terorisme sangat berbahaya bagi
kemanusiaan dan keutuhan suatu negara. Dia mengungkapkan data yang
sangat mencengangkan.

Sampai 2023, warga negara Indonesia (WNI) telah membakar identitasnya
untuk bergabung dengan kelompok radikal di luar negeri. Jumlahnya tak
main-main sekitar 500-600 WNI yang menjadi orang tanpa kewarganegaraan
(stateless) dan menjadi anggota kelompok radikal.

“Sebenarnya terorisme itu tidak serta merta terjadi begitu saja. Dia
itu punya proses dari paham intoleran yang menumbuhkan sikap radikal.
Dari sikap itulah kalau dibiarkan akan membuahkan sebuah aksi teror
untuk menyakiti orang agar tujuannya tercapai,” beber dia.

Tubagus mengungkapkan bentuk karakter paham intoleran dan radikal
sebanyak 24 dan 10 karakter terorisme. Menurutnya ada satu kategori
terorisme yang sangat bahaya, yakni karakter yang sangat mudah
mengkafirkan dan mengharamkan orang lain.

“Saking kuatnya bahkan orang tuanya sendiri yang melahirkan,
mengurus, dan membesarkan itu dikafirkan,” beber dia.

Dia menyebut jaringan teroris di dunia sekarang tidak pandang bulu
bahkan melibatkan wanita dan anak-anak. Keterlibatan kelompok itu
dipilih karena lebih mudah berkamuflase dan tidak mencurigakan.

Sehingga sering digunakan oleh beberapa kelompok radikal dalam
aksinya. Dia mengatakan di Indonesia telah ditemukan belasan kelompok
teror terbesar.

Paham anti-radikalisme menjadi suatu keharusan untuk melindungi masa
depan pendidikan dan mewujudkan lingkungan kampus yang aman dan
inklusif. Dia mendorong mahasiswa menjadi bagian dari garda depan
gerakan anti-radikalisme di kampus dan masyarakat.