RAN PE Untuk Tingkatkan Perlindungan Hak WN dari Ekstremisme Berdasarkan HAM, Pancasila, dan UUD ‘45

RAN PE Untuk Tingkatkan Perlindungan Hak WN dari Ekstremisme Berdasarkan HAM, Pancasila, dan UUD ‘45

Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) Berbasis Kekerasan yang mengarah pada terorisme tahun 2020-2024.

Perpres ini ditandatangani Presiden Jokowi pada 6 Januari 2021 dan telah diundangkan pada 7 Januari 2021. Penyusunan RAN PE itu telah dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sejak tahun 2017.

Perpres tersebut merupakan inisiatif dan prakarsa BNPT sebagai salah satu upaya penanggulangan terorisme yang mengedepankan pendekatan lunak (soft approach) guna menanggulangi akar permasalahan (push and pull factor) secara komprehensif melalui pendekatan yang sistematis, terencana, dan terpadu dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan (whole of government approach and whole of society approach).

“RAN PE bertujuan untuk meningkatkan pelindungan hak atas rasa aman warga negara dari ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban negara terhadap hak asasi manusia dalam rangka memelihara stabilitas keamanan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” bunyi keterangan resmi BNPT, Senin (18/1/2021).

Disebutkan, strategi dan program utama RAN PE dalam mencapai sasaran atau tujuannya dituangkan dalam 3 (tiga) pilar, yaitu: Pilar Pencegahan, yang terdiri dari Kesiapsiagaan, Kontra Radikalisme dan Deradikalisasi; Pilar Penegakan Hukum, Pelindungan Saksi dan Korban dan Penguatan Kerangka Legislasi Nasional; dan Pilar Kemitraan dan Kerjasama Internasional.

BNPT juga menyebutkan bahwa proses dan pelaksanaan RAN PE memperhatikan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, Supremasi Hukum dan Keadilan, Kesetaraan Gender, Keamanan dan Keselamatan, Tata Kelola Pemerintah yang baik (Good Governance), Partisipasi Pemangku Kepentingan Majemuk, serta Kebhinekaan dan Kearifan Lokal.

Sementara untuk aksi dalam RAN PE memuat berbagai program dan aksi kegiatan yang telah melalui proses pembahasan yang panjang dengan melibatkan berbagai K/L terkait maupun masyarakat sipil. Matriks tersebut mengidentifikasi masalah/kebutuhan yang dihadapi oleh K/L serta rencana-rencana aksi yang dapat diimplementasikan sebagai Coordinated Programs dalam menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.

“Aksi dalam RAN PE juga merupakan living document, sehingga dalam pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan dinamika yang terjadi di masa mendatang serta fokus, potensi, dan permasalahan setiap K/L,” lanjut keterangan BNPT.

Terdapat 82 Aksi dalam Pilar Pencegahan (Kesiapsiagaan, Kontra Radikalisme dan Deradikalisasi), 33 Aksi dalam Pilar Penegakan Hukum, Pelindungan Saksi dan Korban dan Penguatan Kerangka Legislasi Nasional serta 15 Aksi pada Pilar Kemitraan dan Kerjasama Internasional.

Rangkaian aksi yang terdapat dalam RAN PE dibagi menjadi tiga pilar yaitu pilar pencegahan, Pilar Penegakan Hukum, Pelindungan Saksi dan Korban dan Penguatan Kerangka Legislasi Nasional, dan Pilar Kemitraan dan Kerjasama Internasional.

Pilar Pencegahan berfokus pada penguatan dan pemanfaatan data-data pendukung (kesiapsiagaan) dengan pendataan, dokumentasi, dan review hasil-hasil riset dan kajian secara berkala, peningkatan kesadaran dan kapasitas para pemangku kepentingan dengan menyusun sistem deteksi dini, peningkatan kapasitas bagi ASN, penghargaan bagi masyarakat sipil dan dunia usaha, serta pelatihan bagi penceramah agama untuk mendorong moderasi beragama.

Selanjutnya adalah efektivitas kampanye pencegahan di kalangan kelompok rentan (Kontra Radikalisasi) dengan melakukan penyusunan indikator keberhasilan kampanye pencegahan di kalangan kelompok rentan terutama perempuan dan anak-anak, penguatan toleransi di Institusi Pendidikan, pengembangan jaringan penyedia konten berbasis internet. Serta penguatan daya tahan kelompok rentan (Kontra Radikalisasi) dengan melakukan pendampingan dan pengembangan daerah percontohan, pencegahan ekstremisme melalui program pemolisian masyarakat.

Selain itu, perlu dilakukan penguatan daya tahan kelompok rentan (Kontra Radikalisasi) dengan melakukan pendampingan dan pengembangan daerah percontohan, pencegahan ekstremisme melalui program pemolisian masyarakat.

“Kegitan pemolisian masyarakat (community policing) dalam RAN PE adalah kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan profesionalitas Bhabinkamtibmas pada Polri selaku pemegang tugas dari pemolisian masyarakat sehingga dapat mewujudkan kemitraan antara masyarakat dan polisi sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada dalam RAN PE ini yaitu hak asasi manusia, supremasi hukum dan keadilan, kesetaraan gender, keamanan dan keselamatan, tata kelola pemerintah yang baik (good governance), partisipasi pemangku kepentingan majemuk, serta kebhinekaan dan kearifan Lokal,” jelas keterangan tersebut.

Dijelaskan juga bahwa pelaksanaan prinsip tersebut sangat menunjang pencegahan dari pada ektrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Selain itu, masyarakat ASEAN dalam berbagai dokumen-nya seperti di Manila Declaration dan ASEAN Plan of Action dalam rangka penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan juga mengakui pentingnya “community policing” sebagai strategi yang bagus untuk menangani permasalahan tersebut. Polri salah satu yang terdepan di ASEAN dalam memajukan “community policing”

Pilar pencegahannya lainnya antara lain meningkatkan efektivitas pengamanan obyek-obyek vital transportasi dan wilayah-wilayah public lain (pelindungan) dengan penyusunan database tentang obyek-obyek vital, transportasi dan wilayah publik, sosialisasi dan peningkatan kapasitas pengelola tempat-tempat publik. Pencegahan terhadap radikalisme dan tindak pidana terorisme bagi kelompok anak (kesiapsiagaan) dengan mengimplementasikan pelaksanaan aksi peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak No.7 Tahun 2019 tentang pedoman perlindungan anak dari radikalisme dan tindak terorisme.

Juga peningkatan deradikalisasi di Dalam Lapas dengan melakukan penyusunan standar kompetensi petugas penanganan narapidana dan tahanan tindakan terorisme, pelindungan bagi petugas pendamping narapidana teroris dan ketahanan petugas lapas yang berhadapan dengan narapidana terori khususnya kategori tinggi. Mekanisme penanganan narapidana anak/ANDIKPAS yang terlibat dalam kasus terorisme.

Selain itu, juga harus dilakukan peningkatan program deradikalisasi di Luar Lapas dengan memberikan pelatihan keahlian serta penyusunan kerangka kerja dan indikator keberhasilan dalam program deradikalisasi luar lembaga pemasyarakatan, meningkatkan kapasitas petugas, mekanisme pelaporan, pemantauan dan evaluasi.

Pilar Penegakan Hukum, Pelindungan Saksi dan Korban dan Penguatan Kerangka Legislasi Nasional berfokus pada penguatan koordinasi dan penegakan hukum terkait tindak pidana terorisme dan pendanaan terorisme seperti peningkatan koordinasi antarpenegakan hukum pemberantasan terorisme dan penanggulangan ektremisme kekerasan yang mengarah pada terorisme. Penyusunan kebijakan identifikasi pendanaan terorisme serta penanganan dan penanggulangannya dengan memperhatikan penilaian resiko pendanaan terorisme.

Selanjutnya adalah penegakan kapasitas intitusi penegakan hukum tindak pidana terorisme dan pendanaan terorisme di luar negeri dengan membuat buku pedoman terpadu, pelatihan penegakan hukum tindak pidana terorisme dan pendaan terorisme baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Juga pelindungan saksi dan korban ektremsime berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme dengan membuat wadah pelaporan korban tindakan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di wilayah kampus. Bentuknya berupa penyusunan dan pemanfaatan basis data pihak yang melapor sebagai korban dari tindakan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, penyusunan skema dana abadi korban (victim trustfun) untuk korban terorisme; optimalisasi metoda rekonsiliatif antara korban dan pelaku dan pembentukan kebijakan yang akan menjadi panduan dalam pelaksanaan rekonsiliasi antara korban dan pelaku tindak pidana terorisme.

Selain itu, perlu penyelarasan kerangka hukum nasional dengan kerangka hukum internasional dengan membuat kajian dan pengesahan instrument internasional seperti penerbangan sipil atau pelindungan misi diplomatik, membuat kajian yang terkait dengan material peledak plastik (explosive materials), naskah akademik dan RUU persiapan pengesahan instrumen internasional terkait. Dan penyiapan regulasi harmonisasi rancangan dan evaluasi peraturan Perundang-Undangan seperti Inventarisasi dan kajian peraturan perundang-undangan serta Pembentukan sejumlah UU (misal: kepemilikan senjata api dan bahan peledak)

Ketiga Pilar Kemitraan dan Kerjasama Internasional yang berfokus pada peningkatan kapasitas kemitraan para pemangku kepentingan dengan melakukan pemetaan program-program penanggulangan ekstremisme yang mengarah pada Terorisme. Platform kemitraan pemerintah dengan pemangku kepentingan di masyarakat, kerjasama publikasi dan pertemuan berkala pemrintah dengan pemangku kepentingan di masyarakat serta tersusunnya mekanisme (koordinasi antarpemangku kepentingan) dan informasi pendanaan dari berbagai Lembaga Donor Internasional.

Selain itu, harus dilakukan peningkatan kerjasama internasioal dengan membuat kajian instrumen hukum internasional, dengan melakukan penyusunan database agar terbentuk standar atau norma internasional terkait ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.