Ramadhan Mendidik Umat untuk Menahan Amarah, Termasuk Menahan Kekerasan dan Terorisme

Jakarta – Bulan Ramadhan memiliki sejumlah kurikulum yang penting yang harus diketahui oleh umat islam. Karena di bulan Ramadhan ini digunakan untuk mendidik dan mengedukasi umat islam agar belajar menahan diri dari. Tidak saja menahan haus dan lapar, namun harus digunakan pula untuk tidak melakukan amarah terhadap siapapun termasuh melakukan aksi kejahatan seperti terorisme.

“Alih-alih untuk bertindak melakukan kejahatan terorisme, marah saja di bulan Ramadhan ini jugatidak boleh. Jadi bisa saja ada orang yang tidak makan, tidak minum, tapi jika dia melakukan tindakan distrutif sekalipun tidak makan dan tidak minum, maka tidak dapat pahala dari puasanya,” ujar Wakil Sekretaris Komisi Kerukunan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr. KH. Abdul Moqsith Ghazali, MA, di Jakarta, Senin (28/5/2018)

Lebih lanjut dirinya menjelaskan, Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa banyak orang yang berpuasa yang diperoleh baginya hanya lapar dan haus, yaitu orang yang berpuasa yang tidak sanggup menahan diri dari melakukan kejahatan-kejahatan “Kejahatan yang dimaksud yaitu baik kejahatan individual, maupun kejahatan yang sifatnya masif seperti tindakan terorisme. Jadi tidak boleh itu (aksi terorisme),” ujarnya.

Selain itu menurutnya di bulan ramadhan ini, umat islam juga dilatih untuk membangun keberpihakan kepada orang lain yang tidak berpuasa, seperti orang fakir, orang miskin dan lain-lain. Karena Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa barang siapa yang memberi makan kepada orang yang sedang berpuasa, maka pahalanya cukup besar nanti di surga.

“Selain itu di dalam bulan ramadhan kita juga diwajibkan untuk melakukan Zakat fitrah yang akan diberikan kepada orang-orang, terutama fakir miskin yakni orang yang secara ekonomi berada pada level terbawah, sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya,” ujanrya.

Tak hanya itu, menurutnya, di bulan Ramadhan maupun bukan bulan Ramadhan, masyarakat pengguna media sosial juga tidak diperbolehkan untuk menyebarkan hasutan, fitnah dan ujaran kebencia (hate speech), karena hal tersebut dapat merusak persatuan dan perdamaian bangsa. Karena kalau sampai masyarakat terjebak dalam hal tersebut dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal yang mengarah kepada aksi terorisme.

“Didalam dunia modern apalagi didalam dunia yang makin canggih dimana tekhnologi makin maju, gerakan terorisme dengan mempengaruhi percakapan publik, membentuk opini publik ditengah masyarakat, hal itu mengalami pelipatgandaan pengaruh melalui media sosial. Karena gratis mereka jadi mudah bergerak,” kata pria yang juga dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Lebih lanjut Kiai Moqsith mencontohkan, jika dahulu ada jaringan kelompok NII, DI/TII dan sebagainya, tentunya tidak mudah bagi kelompok tersebut untuk bergerak secara cepat. Kelompok tersebut tidak dapat berkembang menjadi besar karena pada saat itu tidak ditopang oleh fasilitas seperti media sosial. Karena tantangan yang ada sekarang adalah bagaimana membatasi ruang gerak radikalisme itu karena mereka menggunakan telegram, media sosial, televisi dan sebagainya.

“Jika seperti itu kondisinya, maka harus diperbaiki dari berbagai aspek. Misalnya ustad-ustad yang diduga memiliki paham, cara pandang keagamaan yang radikal, maka media besar seperti TV harus membangun kesadaran bersama untuk tidak mengajak atau melibatkan ustad yang terafiliasi dengan paham radikal,” ujarnya.

Namun menurutnya, kalau media TV tidak punya kesadaran itu, hal itu akan menyumbang cukup besar terhadap tumbuh dan berkembangnya terorisme di Indonesia. Karena pengaruh TV di Indonesia masih lebih tinggi ketimbang media sosial. “Media TV harus menghujani kesadaran masyarakat terhadap toleransi, terhadap hidup ber-Bhinneka Tunggal Ika. Karena media TV masih menjadi rangkin pertama dalam mempengaruhi opini publik,” ujar peraih Doktoral bidang Tafsir al-Qur’an di UIN Jakarta ini

Sedangkan menghalau propaganda radikalisme dan terorisme melalui media sosial menurutnya tidak mudah. Namun negara kita kita diuntungkan memiliki undang-undang ITE yang dapat dipakai karena radikalisme itu awal mulanya adalah ujaran kebencian. “Begitu ada ujaran kebencian, ada penegakan hukum. Karena jangan sampai ujaran kebencian yang didalamnya ada ideologi terorisme, berujung pada tindakan terorisme,” kata Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdatul Ulama ini.

.

Untuk itu menurutnya UU ITE harus dipergunakan seefektif mungkin, terutama untuk membuat efek jera bagi orang-orang yang ingin menyebarkan ujaran kebencian dimana mana. Selain itu Kementerian Komunikasi dan Informatika juga harus dapat menghentikan pergerakan kelompok radikal di media sosial.

“Karena kalau itu tidak dilakukan, itu menjadi alarm bahaya bagi Indonesia, karena tidak mudah membentengi NKRI dengan pulaunya yang sangat banyak, masyarakatnya yang beragam, sukunya yang beragam. Karena indonesia ini bisa dimasukan oleh paham apa saja, mulai dari yang kanan sampai yang kiri bisa dimasuki dari berbagai sisi,” ujanrya.

Bahkan menurutnya, NU sendiri dalam Munas NU yang telah dilaksanakan akhir 2017 lalu juga sudah mengeluarkan fatwa keagamaan tentang tidak diperbolehkannya ujaran kebencian dan telah melipat gandakan sanksi terhadap orang-orang yang melakukan ujaran kebencian.

“Bahkan MUI juga sudah mengeluarkan fatwa keagamaan, bahwa terorisme tidak punya argumentasi Quranik, tidak punya argumentasi keagamaan. Jadi terorisme itu tidak bisa mengklaim memiliki kebenaran dari sudut agama karena seluruh ulama-ulama ditingkat dunia, termasuk ulama di Indonesia, MUI, NU dan Muhammadiyah tidak memandang bahwa terorisme punya argumentasi dalam tradisi keIslaman kita,” ujanrya

Oleh sebab itu di bulan Ramadhan ini dirinya kembali menghimbau kepada masyarakat dan juga khususnya umat islam di Indonesia memahami bahwa Indonesia adalah milik kita bersama sehingga harus bersama-sama menjaga kerukunan antar sesama. Karena kalau Indonesia ini terpecah, maka yang rugi bukan hanya umat Islam saja, tapi juga seluruh warga negara di Indonesia. Janganlah masyarakat berpikiran bahwa hidup bersama dan bertetangga dengan orang yang berbeda keyakinan, suku, agama, ideologi, janganlah dianggap sebagai ancaman terhadap diri sendiri,

“Karena Indonesia ini sudah ditakdirkan oleh Allah menjadi negara yang plural. Plural dari sudut agama, etnik, dan suku. Itu penting untuk kita terima sebagai sebuah fakta yang diberikan Allah. Kita tidak bisa memilih untuk lahir di Indonesia. Karena nenek moyang kita berasal dari Indonesia, maka kita lahir disini, hidup bersama dengan umat agama lain, dengan suku lain maka pilihannya bukan membasmi yang lain, tapi hidup bertetangga secara rukun dengan yang lain,” kata peraih S2 dalam bidang Tasawuf Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengakhiri .