Makassar – Bulan Ramadan merupakan bulan suci bagi umat muslim di seluruh dunia. Selama sebulan penuh, umat muslim berpuasa dari fajar hingga terbenam matahari sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT. Namun, selain beribadah, Ramadan juga diartikan sebagai bulan Jihad oleh sebagian umat muslim.
Imam Besar Masjid Al-Markaz Al-Islami Makassar, Prof. Dr. H. M. Muammar Muhammad Bakry, Lc, MA, mengungkapkan meskipun ada beberapa perang (Jihad) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam konteks qital (peperangan fisik), namun perang yang sesungguhnya sejatinya adalah perang melawan hawa nafsu.
“Ramadan itu hanya semacam training, bulan madrasah, training untuk melatih jiwa untuk bersabar, mengajarkan atau menyebarkan kerahmatan. Bersabar untuk mengajarkan kerahmatan. Madrasah bagi nafsu dan upaya pembinaan jiwa kita sendiri,” ujar Prof Muammar Bakry di Makassar, Jumat (14/4/2023).
Muammar melanjutkan, sesungguhnya hawa nafsu yang tidak terkendali, melawan nilai kemanusiaan, nilai kerahmatan. Itulah yang seharusnya dilawan melalui semangat jihad. Karena potensi dalam diri manusia untuk menjadi jahat selalu ada. Tapi kalau potensi tersebut tidak dilawan dengan potensi ketakwaan dan kerahmatan, maka bisa saja seseorang itu dikuasai oleh nafsu hewannya, hawa nafsunya.
“Inilah yang menyalah artikan pemahaman keagamaan lalu dituruti hawa nafsunya untuk melakukan pembenaran atas apa yang mereka lakukan, seperti tindakan yang mengarah kepada destruktif, dalam bahasa agama ‘Irhab’ (terorisme), nah ini yang menggunakan hawa nafsu dalam memahami agama,” jelas Guru Besar Bidang Hukum Islam Kontemporer UIN Alauddin Makassar.
Pasalnya, penyelewengan makna Ramadan sebagai bulan jihad tersebut dapat berakibat fatal. Terlebih jika dijadikan alasan pembenaran untuk melakukan tindakan tindakan yang dapat mencederai nilai nilai kemanusiaan, menciptakan konflik dan gangguan bagi keharmonisan bangsa yang majemuk.
“Ini berbahaya sekali bagi harmonisasi bangsa kita, bangsa kita yang sungguh sangat kita nikmati hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, dengan tenang, dengan harmoni. Kalau ada kelompok yang memaksakan pemahaman eksklusifnya, dan salah memaknai agama, tentunya itu efek yang sangat berbahaya bagi pemahaman yang mengarah kepada radikalisme itu,” kata Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan.
Dalam kaitannya Ramadan sebagai bulan kemenangan, menurutnya, juga mengingatkan bangsa Indonesia dengan sejarah besar kemerdekaan tahun 1945 silam yang juga diraih saat bulan Ramadan. Dirinya menyebut, momentum ini harus diperingati sebagai momen membangun Indonesia secara lebih baik.
“Ramadan bagi kita bangsa Indonesia adalah sejarah besar, harus menjadi bulan yang mengingatkan kita tentang kemerdekaan yang sesungguhnya. Momentum bagi kita untuk menebarkan kerahmatan, kedamaian, membangun Indonesia secara lebih baik dan secara konstruktif,” ucapnya.
Muammar menyampaikan pesannya kepada segenap umat muslim dan masyarakat Indonesia untuk senantiasa mengingat catatan penting yang tersirat didalam kitab suci Alquran tentang menjaga persaudaraan, yang tidak hanya dibangun selama bulan Ramadan saja tetapi dalam setiap jengkal dan waktu kehidupan bermasyarakat.
“Alquran sudah memberikan catatan penting tentang persaudaraan. Kita selaku manusia dan selaku anak bangsa adalah bersaudara. Jangan dianggap saudara kebangsaan atau ukhuwah kebangsaan (ukhuwah wathoniyah) dan ukhuwah kemanusiaan bukan dari perintah agama. Justru itu perintah agama yang sangat prinsipil,” ujar Sekretaris Majelis Istisyari Pengurus Besar Darud Dakwah Wal Irsyad (PB DDI) ini mengakhiri.