Rajut Kolaborasi Lintas Iman Untuk Cegah Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme di DIY

Yogyakarta – Kolaborasi lintas iman harus terus dirajut di tengah
kemajemukan bangsa Indonesia. Hal itu sangat penting dalam mencegah
penyebaran radikalisme, dan Ekstremisme.

Untuk itulah Mitra Wacana  menggelar lokalatih bertajuk Menyusun
Langkah-Langkah Pencegahan Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme
(IRE) di Aula Kelurahan Baciro, Kemantren Gondokusuman, Yogyakarta,
Kamis (24/4/2025). Kegiatan ini merupakan bagian dari program “Merajut
Kolaborasi Lintas Iman”, sebagai respon atas meningkatnya potensi
konflik berbasis identitas di tengah masyarakat.

Dihadiri 30 orang dari perwakilan pemuda, perempuan, tokoh agama,
serta pemangku kepentingan dari berbagai organisasi dan latar belakang
agama atau kepercayaan yang berbeda. Seluruh peserta duduk bersama
dalam suasana dialogis untuk menyusun langkah-langkah konkret
pencegahan IRE.

Forum ini juga menjadi ruang aman untuk berbagi pengalaman, memperkuat
solidaritas sosial, serta menggali nilai-nilai lokal yang mampu
meredam potensi konflik berbasis identitas.

Dalam sesi pemaparan, perwakilan dari Densus 88 menyampaikan bahwa
media sosial menjadi salah satu kanal utama penyebaran ideologi
radikal. Dipaparkan bahwa lebih dari 60 persen simpatisan ISIS asal
Indonesia diketahui terpapar konten ekstremis dari media sosial.

“Media sosial menjadi pemicu munculnya banyak pelaku teror tunggal
(LONEWOLF) yang terpapar secara mandiri tanpa keterlibatan jaringan
langsung,” ujar Umar dari Densus 88 AT DIY.

Dari sisi masyarakat sipil Wahyu Tanoto dari Mitra Wacana menekankan
pentingnya keterlibatan semua lapisan masyarakat dalam upaya
pencegahan. “Menangani IRE bukan perkara mudah, deteksi dini saja
sudah menjadi tantangan besar. Karena itu, pencegahannya tak bisa
hanya mengandalkan satu pihak,” ujarnya.

Ia menambahkan, peran perempuan dan nilai-nilai lokal adalah benteng
utama dalam menjaga ketahanan sosial dari pengaruh ekstremisme.

Wiji Nurasih, perwakilan anak muda dari komunitas Gusdurian juga
menyampaikan pandangannya. “Sebagai anak muda yang tergabung di
komunitas dan bertugas di divisi media dan kampanye, saya dan
teman-teman mengkampanyekan pesan-pesan perdamaian lintas iman dan
golongan melalui media sosial kami,” katanya.

Wiji juga menekankan pentingnya berpikir kritis agar tidak mudah
terjebak dalam narasi kebencian yang marak di dunia digital.

Lutfiah dari komunitas Perempuan Ahmadiyah mengajak peserta untuk
merawat sikap bijak dalam menyikapi perbedaan. “Kita perlu menyikapi
dan memahami kondisi yang ada dengan bijak, tanpa memberikan respons
yang berlebihan. Dengan cara ini, kita dapat membangun rasa saling
percaya di antara semua pihak,” ucapnya.