Raih Gelar Doktor di Polandia, Wakil Ketua MPR Kritisi Sejarah Terorisme di Indonesia

Jakarta – Sejarah terorisme dikritisi  Wakil Ketua MPR Arsul Sani dalam desertasinya bertajuk “Re-examining The Considerations of National Security and Human Rights Protection in Counterterrorism Legal Policy: A Case Study on Indonesia Post-Bali Bombings”. Desertasi itu itu pun mendapat predikat sangat memuaskan (cumlaude) dan membawa Arsul Sani meraih gelar doktor ilmu hukum dari Collegium Humanum Warsaw Management University, Polandia.

Dalam deserta itu, Politikus PPP ini mengkritisi sejumlah hal, di antaranya, beberapa studi terdahulu tentang sejarah terorisme di Indonesia dan perbedaan proses hukum dalam kasus-kasus pidana yang memenuhi unsur tindak pidana terorisme.

 Arsul mengkritik penulisan sejarah terorisme di Indonesia yang mengaitkan kemunculan awal terorisme dengan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat, padahal perbuatan teror dalam pengertian terorisme telah dimulai menjelang pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun.

Pemberontakan itu dilakukan oleh pengikut atau pendukung PKI yang kemudian melahirkan peristiwa Pemberontakan PKI Madiun Tahun 1948.

 “Seharusnya, sejarah terorisme di Indonesia dicatat dengan perbuatan teror oleh pengikut PKI, baru diikuti oleh pengikut DI/TII yg terjadi setelah pemberontakan PKI Madiun,” kata Arsul dikutip dari Antara, Senin (6/3/2023).

 Selain itu, Arsul dalam disertasi-nya juga mengkritisi sejumlah kasus hukum di Indonesia yang dalam penindakan-nya terdapat perbedaan perlakuan dan proses hukum, padahal sama-sama memenuhi unsur tindak pidana terorisme.

 Ia menyampaikan dalam beberapa kasus di Aceh setelah perjanjian Helsinki, penegak hukum menerapkan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Akan tetapi, dalam kasus-kasus yang sama-sama memenuhi unsur terorisme di Papua, UU Terorisme ini tidak diterapkan dan para pelakunya hanya dikenakan tindak pidana umum dalam KUHP.

Arsul mengkritisi pula keraguan Pemerintah dan jajaran penegak hukum untuk mempergunakan UU Terorisme terhadap Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua, padahal Pemerintah telah memberi label kelompok ini sebagai kelompok separatis-teroris (KST) sejak pertengahan tahun 2021.