Radikalisme Menular Lewat Narasi, Butuh “Kekebalan Kolektif” untuk Mencegahnya

Sorong – Radikalisme memiliki pola penyebaran cepat dan sulit terdeteksi, mirip dengan virus Covid-19. Bedanya, jika Covid-19 menular lewat droplet, paham radikal menyebar melalui doktrin, narasi, dan propaganda yang terus diulang.

“Paparan bisa terjadi di ruang terbuka maupun ruang virtual. Jika narasi itu dikonsumsi berulang-ulang, dampaknya sangat besar,” ujar Analis Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT, Teuku Fauzansyah, saat Rembuk Merah Putih FKPT Papua Barat Daya, Rabu (14/8/2025).

Teuku memaparkan lima ciri orang yang mulai terpapar radikalisme: menolak Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika; mengklaim kebenaran tunggal dan mudah mengkafirkan; anti pemimpin dan pemerintah yang sah; bersikap eksklusif dan membenci kelompok lain; serta menolak seni, budaya, dan kearifan lokal.

“Kalau satu atau dua ciri mungkin belum terlalu terlihat. Tapi jika semuanya muncul, itu tanda bahaya,” tegasnya.

Ia juga mengungkap empat “kekosongan” yang membuat seseorang rentan terjerumus terorisme: kosong pikiran (minim wawasan kebangsaan), kosong hati (hilangnya empati), kosong perut (kesulitan ekonomi), dan kosong kantong (keterpurukan finansial). Kondisi ini kerap dimanfaatkan kelompok radikal yang menawarkan solusi instan.

Menurut Teuku, pencegahan harus dilakukan secara kolektif, melibatkan pemerintah dan masyarakat. “Radikalisme hanya bisa dikalahkan dengan kekebalan kolektif. Kesadaran, persatuan, dan komitmen menjaga nilai kebangsaan adalah benteng terakhir,” pungkasnya.