Jakarta – Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengatakan radikalisme dan intoleransi di kampus berkembang karena tak ada gerakan tandingan yang sama besar selama ini.
Gerakan tandingan yang ia maksud adalah organ ekstra, seperti HMI atau GMNI, yang dilarang eksis sebelum adanya Permenristekdikti.
“Akibatnya apa? Seluruh wacana dan gerakan mahasiswa di kampus cenderung dikuasai oleh LDK [Lembaga Dakwah Kampus] dan KAMMI [Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia], terutama di perguruan tinggi negeri,” katanya yang dikutip Antara, Kamis (1/11).
Di kesempatan berbeda, Al Chaidar Abdul Rahman Puteh, dosen Antropologi di Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, juga sependapat dengan Azyumardi. Namun ia melihat tandingan ekstrem kanan bukan cuma dari organisasi yang dikenal sebagai “kelompok Cipayung” itu, tapi juga kelompok lain. Masalahnya, kelompok lain ini kerap kali dilarang menggelar kegiatan.
“Ilmu pengetahuan hanya mungkin berkembang dalam atmosfer yang bebas tanpa tekanan,” ujarnya.
Pelarangan ini biasanya terjadi pada diskusi atau kegiatan yang terkait dengan peristiwa 1965 atau soal PKI dan ideologinya. Misalnya pelarangan diskusi soal Marxisme di Universitas Indonesia pada September lalu yang dilakukan Rektorat UI.
Soal ini, kata Al Chaidar, jadi masalah tersendiri. Sikap Kemenristekdikti mempersilakan organisasi ekstra tradisional kembali beraktivitas tapi di sisi lain memberangus yang lain, sama saja dengan memberi “karpet merah” kepada radikalisme jenis lain. Soalnya, dalam amatan Puteh, banyak organisasi tersebut yang juga jadi ekstrem kanan.
“Mereka juga terjebak dengan conservative turn,” tandasnya.