Medan – Radikalisme bukan merupakan gambaran dari ajaran agama. Tapi radikalisme itu jelas adalah ajaran kekerasan. Pernyataan itu diungkapkan Ketua Asosisasi Perguruan Tinggi Asia Tengara Prof. Dr. Syahrin Harahap pada Dialog Pencegahan Terorisme Melalui Media yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Forum Komunikasi Penanggulangan Terorisme Provinsi Sumatera Utara di Medan, Selasa (7/7/2015).
“Ajaran agama adalah norma dan norma itu tidak pernah memuat ajaran radikalisme dalam arti kekerasan. Jadi paham radikalisme dan terorisme tidak lahir dari ajaran agama, tetapi dari rasionalitas (hasil pemikiran) tokoh dan pengalaman sosial pengikutnya,” ujar Prof Syahrin.
Prof Syahrin melanjutkan bahwa terorisme adalah klimaks dari radikalisme. Untuk itulah, ia mengimbau agar segenap masyarakat Indonesia agar tidak sama sekali bersentuhan dengan paham tersebut.
“ Sebenarnya radikalisme adalah paham untuk memahami dan melaksanakan ajaran agama secara mendasar tetapi kini radikalisme secara istilah adalah gerakan pemahaman agama yang kaku dan literalis yangg menyebarkan ajarannya dengan cara-cara kekerasan,” terang Prof Syahrin.
Menurutnya, radikalisme dalam arti kekerasan itu muncul akibat adanya emosi dan solidaritas keagamaan yang salah. Ia mencontohkan dengan radikalisme yang dilakukan pengikut agama Budha di Myanmar terhadap kaum muslim Rohingnya.
“Itulah yang harus kita waspadai. Segala aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama jelas tidak benar. Agama apapun di muka bumi ini selalu mengajarkan tentang kasih sayang dan perdamaian,” tukasnya.
Selain itu, Prof Syahrin mengungkapkan bahwa faktor ketidakadilan ekonomi dan kesenjangan sosial juga menjadi pemicu tumbuhnya aksi radikalisme. Ia yakin bila di suatu negara tingkat perekonomian dan sosial masyarakat tinggi, maka tingkat radikalisme mereka pasti sangat rendah. Pemicu lainnya adalah pubertas agama.
“Maksudnya ada orang yang baru baca satu buku lantas menganggap semua orang salah. Ini sangat bahaya karena biasanya orang yang seperti ini tingkat radikalismenya sangat tinggi,” imbuh Prof Syahrin.
Khusus untuk Sumatera Utara, Prof Syahrin menilai islam di Sumatera Utara tidak punya genetika dan sejarah kekarasan. “Aksi kekerasan, radikalisme, dan terorisme di sini laihir dari pemahaman impor. Contohnya tokoh ormas Al Wasliyah, Ismail Banda, adalah tokoh yang membacakan teks Proklamasi di negara-negara Timur Tengah (Timteng),” tegasnya.
Dalam diskusi itu juga hadir Jimmy Silalahi dari Dewan Pers. Menurutnya, Dewan Pers juga terus terlibat membantu pemerintah dalam rangka pencegahan dan penanggulangan radikalisme dan terorisme dengan telah menerbitkan peraturan peliputan terorisme yang dituangkan dalam SK No: 1 Tahun 2015.
“Di sana diatur tentang tata cara peliputan dan pemuatan berita terorisme. Intinya Dewan Pers perlu untuk ikut serta dalam melakukan penanggulangan propaganda paham radikalisme dan terorisme melalui media massa. Apalagi ini demi keutuhan dan perdamaian di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” kata Jimmy.