Surabaya – Munculnya fenomena radikalisme berbasis agama tidak hanya dipengaruhi oleh faktor tunggal. Tapi juga ada faktor lain yang berperan membentuk seseorang atau masyarakat menjadi radikal.
Demikian disampaikan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Prof. Masdar Hilmy dalam diskusi di Surabaya, Kamis (25/10).
Fenomena radikalisme agama, kata Masdar Hilmy, harus diakui muncul dalam ayat-ayat di dalam kitab suci. Namun tambahnya, penerapannya tanpa ada pertimbangan relevansi konteks yang menyertainya.
“Kita harus rendah hati mengatakan bahwa memang di dalam teks suci kita ini ada banyak ayat-ayat yang menyuruh kita ini untuk berperang dan membunuh. Nah, persoalannya adalah apakah ayat-ayat tadi itu harus kita terapkan apa adanya tanpa mempertimbangkan relevansi konteksnya,” ujar Masdar disitat dari VOA, Sabtu (27/10).
Sementara itu, Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Ishomuddin menilai akar munculnya radikalisme dipengaruhi oleh pemahaman ilmu agama yang dangkal, terkait maksud diturunkannya agama yang sesungguhnya menarik orang pada kebaikan dan menghindarkan dari keburukan.
Selain pengetahuan agama yang rendah, radikalisme juga dipengaruhi oleh wawasan yang kurang luas dalam hal kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya berkaitan dengan kebhinnekaan di Indonesia.
“Mereka tidak memiliki ilmu agama yang mendalam, akhlak yang mulia, lebih mengedepankan hawa nafsu daripada ilmu,” kata Ahmad Ishomuddin.
“Beberapa faktor lainnya yang juga jadi pemicu adalah merasa tertindas, merasa kalah dalam persaingan di bidang ekonomi, kalah persaingan di bidang politik, tidak menemukan jalan keluar sehingga segala sesuatu mau diselesaikan dengan jalan kekerasan dan pengingkaran terhadap perbedaan-perbedaan.”
“Padahal itu bukan merupakan jalan keluar untuk mencapai suatu titik temu, tetapi justru menimbulkan kegaduhan, menimbulkan korban bahkan terhadap orang-orang yang berbeda,” tukasnya lagi.
Ketua Dewan Pembina Nurcholish Madjid Society (NCMS), Omi Komaria Madjid turut menambahkan, radikalisme dan intoleransi sebenarnya bisa diatasi dengan mengajak semua elemen bangsa untuk bersikap rendah hati dalam beragama.
Menurut Omi, berbagai keanekaragaman yang dimiliki Indonesia merupakan anugerah Tuhan yang harus diterima dan disyukuri, sebagai bentuk pengakuan dan kepatuhan manusia pada kehendak Tuhan.
“Kebhinnekaan itu secara positif terima bahwa itu sebagai anugerah dari Tuhan. Nah karena augerah dari Tuhan, itu kita jangan mengingkari dan apalagi melawan, karena kalau mengingkari atau melawan, berarti mengingkari atau melawan kehendak Tuhan itu. Maka dari itu, kita secara aktif mewujudkan itu, memelihara pemberian Tuhan itu,” paparnya.