Radikalisme Berawal dari Intoleransi Terhadap Perbedaan dan Keragaman

Radikalisme Berawal dari Intoleransi Terhadap Perbedaan dan Keragaman

Jakarta -Tindakan awal radikalisme adalah adanya intoleransi alias
tidak toleran pada perbedaan dan keragaman. Hal itu dikatakan oleh
Wakil Ketua Umum (Waketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH
Zulfa Mustofa saat mengisi materi dalam acara penutupan Pengenalan
Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) Universitas Nahdlatul
Ulama Sunan Giri Tahun 2024 di Gedung Islamic Center Bojonegoro, Jawa
Timur, Kamis (5/9/2024).

“Ketidaktoleranan seseorang atas perbedaan dan keragaman yang mereka
lihat,” ujar Kiai Zulfa dikutip dari NU Online, Senin (9/9/2024).

Kiai Zulfa kemudian menceritakan tentang sekolah Islam anak yang telah
disusupi radikalisme, yakni dengan mengajarkan intoleransi dan
kebencian kepada orang yang berbeda. Anak-anak dalam sekolah tersebut
didoktrin untuk membenci non-Muslim.

Ia berharap agar anak-anak, khususnya yang berada di sekolah mendapat
edukasi bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan agar mereka bijak
dalam menghadapi perbedaan.

“Oleh karenanya, ajari kepada anak-anak kita bahwa perbedaan itu
sunnatullah dan ajari bagaimana mereka bijaksana menyikapi perbedaan.
Kalau Anda melihat sudah mulai muncul narasi-narasi kebencian, ini
sebenarnya bibit bibit radikalisme. Jadi langsung putus, langsung
tutup. Awas Anda jangan ngajari kami yang sudah rukun bertahun-tahun
dengan saudara kami, baik antarsekte agama, Kristen, Buddha untuk
saling bermusuhan,” lanjutnya.

Minimnya Kemampuan Literasi Radikalisme, kata Kiai Zulfa, saat ini
adalah salah satu yang menjadi momok bersama bangsa Indonesia. Meski
keberadaan radikalisme tidak terlalu besar, baginya hal tersebut tetap
harus diwaspadai dan ditelusuri.

Lebih lanjut, Kiai Zulfa menceritakan fenomena radikalisme dan
intoleransi yang dialami oleh rekan-rekannya di kota-kota besar
seperti Bandung, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta. Ia mengungkapkan
bahwa awal mula intoleransi dan radikalisme yang didapatkan
rekan-rekannya tersebut berasal dari kampus-kampus yang notabene
jurusannya bukan jurusan agama.

Sementara itu, mahasiswa dari jurusan agama, menurut Kiai Zulfa,
sangat jarang tersusupi paham-paham radikal dan intoleran. Sebab dasar
keagamaan tentang Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang mereka
dapatkan cukup kuat.

Pasalnya, mereka saat di pesantren atau sekolah Ma’arif pasti pernah
belajar ke-NU-an. Ia lantas menyebut salah satu pembahasan dalam
ke-NU-an, bahwa paham Nahdlatul Ulama (NU) adalah Aswaja.

Tentang Aswaja, banyak sekali sekte atau kelompok yang menyatakan
berpaham Aswaja. Oleh karena itu, Kiai Zulfa kemudian menjelaskan
perbedaan Aswaja NU dengan paham Aswaja lainnya, di antaranya ialah
Aswaja NU memiliki al-fikrah as-saniyah, pemikiran yang indah.

Indahnya Aswaja NU, lanjut Kiai Zulfa, di antaranya ialah mengajarkan
tentang tawasuth, yaitu moderat, tidak ekstrem kiri dan tidak ekstrem
kanan. “Ekstrem kanan ini biasanya dimulai yang paling berat, namanya
radikal. Itu yang melahirkan teroris-teroris. Tapi orang jadi radikal
itu tidak langsung jadi teroris yang gampang membunuh sesama Muslim
atau orang yang berbeda. Biasanya sebelum radikal mereka itu dimulai
dari intoleran terhadap orang yang berbeda,” pungkasnya.