Pangandaran – Kultur budaya di Pangandaran lekat dengan kebudayaan
lokal. Namun ada satu kampung di daerah ujung Jawa Barat itu yang
menggambarkan keberagaman atau bisa disebut miniatur Indonesia.
Nama kampung itu disebut Kampung Nusantara. Letaknya berada di Dusun
Cikubang, Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran.
Jalan di kampung itu diambil dari nama-nama provinsi yang ada di
Indonesia. Asal mula lahirnya Kampung Nusantara melalui jalan panjang.
Pria bernama Ai Nurhidayat jadi aktor di balik lahirnya kampung
keberagaman tersebut.
Pria 34 tahun lulusan Universitas Paramadina, Jakarta ini menggagas
kampung Nusantara. Di kampung itu, Ai mengagas pendidikan dengan
mendirikan sekolah SMK Bakti Karya yang sebagian siswanya berasal dari
34 provinsi di Indonesia.
Sekolah berkonsep multikultural itu didirikan Ai untuk mengapresiasi
keberagaman Indonesia. Sekolah yang didirikan pada tahun 2016 itu
bahkan kini sudah melahirkan lulusan yang kembali untuk berkontribusi
di daerah asalnya.
Ai merajut persatuan dengan membuat desa tempat tinggalnya saat kecil
menjadi semakin beragam. Usai selesai menjalankan pendidikannya. Dia
pun memilih menjadi penggerak pendidikan.
Namun, dibalik itu semua jalan terjal Ai mendirikan sekolah program
multikultural dan kampung Nusantara tidaklah mudah.
Ai mengatakan awal mula dirinya tergerak mendirikan kampung Nusantara
dan SMK Bakti Karya karena resah melihat asumsi masyarakat soal
perbedaan yang ada.
Ia pun berpikir jika pendidikan menjadi salah satu ujung tombak
bersatunya perbedaan dan penyelamatan pikiran bangsa.
“Ide itu tertuang dalam sanubari saat saya melakukan perjalanan
keliling ke berbagai provinsi di Indonesia,” kata Ai dikutip dari
detikJabar, Jumat (27/9/2024).
Dengan melihat keberagaman di berbagai daerah di Indonesia, kata dia,
menjadi modal untuk memperkuat toleransi di daerah.
“Dulu memang awalnya saya punya rekan di hampir setengahnya provinsi
Indonesia, dan saya keliling untuk melihat sisi lain negeri ini,” kata
Ai.
Menurut dia, hasil keliling hampir setengah provinsi di Indonesia
menemukan banyak keresahan terutama masa depan Indonesia di mata para
pemuda daerah.
“Kemudian ngobrol-ngobrol soal kebangsaan ternyata masih banyak anak
muda resah, gelisah melihat masa depan bangsa yang selalu kena
percikan konflik hal sepele, seperti perbedaan agama, kultur dan
adat,” terang Ai.
Padahal kata Ai, masih banyak anak muda yang punya optimisme cukup
tinggi. Tetapi rata-rata frustasi melihat kondisi kenyataan yang
melupakan semangat cinta tanah air, semangat kebangsaan dan melupakan
warisan budaya salah satunya bahasa dan kebudayaan lainnya.
“Ditambah dengan situasi mudah tersurut konflik, terpecah belah,
akhirnya menuntut kawan-kawan dengan situasi seperti ini menikmati
masa tua atau bahkan mewarisi generasi selanjutnya dengan beragam
perbedaan yang damai,” ucapnya.
Keresahan seperti itu menurut Ai, yang memunculkan paling tidak
berupaya untuk menyambungkan daya dengan banyak pihak, bukan hanya di
satu daerah tetapi di berbagai penjuru.
“Kemudian saya bersama komunitas belajar Sabalad di Pangandaran pada
membuat konsep kelas multikultural SMK Bakti Karya Parigi,” katanya.
Ia bercerita dari keliling Indonesia itu betapa banyaknya ragam
nusantara yang banyak sekali potensi di daerah-daerah.
“Tapi seperti lampu cempor tidak terhubung satu sama lain,
mudah-mudahan kelas Multikultural ini jadi rangkaian saling terhubung
supaya bisa membagi daya manakala ada yang redup,” ucapnya.
Meski demikian, kelas Multikultural ini tujuannya adalah semakin
banyak yang terhubung semakin banyak yang memahami satu sama lain,
semakin banyak orang-orang yang berpotensi di kemudian hari untuk
saling mengupayakan damai, mengabarkan potensi-potensi daerah-daerah
lain atau kebudayaan lain sehingga akan mudah mengeksplorasi hal-hal
baru.
“Membangun kelas multikultural di Pangandaran tidaklah mudah banyak
jalan terjal yang dilalui selama pendirian SMK Bakti Karya bersama
komunitas Sabalad,” ucapnya.
Menerima Penolakan Warga
Ai mengatakan beberapa kali menerima penolakan saat akan mendirikan
kelas multikultural. Hal itu dialami Ai di awal pendirian tahun
2016-2017.
“Waktu itu konfliknya cukup alot. Namun isu ini justru bukan dari
warga lokal, tetapi sejumlah pihak yang menyebarkan ujaran kebencian,”
ucapnya.
Menurutnya, warga di Desa Cintakarya ini sebetulnya tidak ada yang
mempermasalahkan. Namun, kata dia, ada beberapa kalangan masyarakat
yang berpikir fanatik.
“Menyebarkan fitnah, melakukan penolakan. Tapi alhamdulillah bisa
terjawab dan telah terklasifikasi,” ucapnya.
“Waktu itu Bupati Pangandaran mengundang semua pihak termasuk muspida.
Orang yang menyebarkan ujaran kebencian sudah diamankan waktu itu, dan
semuanya beres hanya kesalahpahaman,” sambung Ai.
Perjalanan Ai membuahkan hasil yang berdampak pada murid alumni SMK
Bakti Karya sebagai sekolah dengan jurusan multimedia, Kelas Ekologi,
Kelas Multikultural dan Kelas Profesi. Pendidikan multikultural
diajarkan di setiap kelas.
Ai mengatakan sejauh ini program kelas Multikultural berjalan sudah
angkatan ke 9 dengan jangkauan peserta lebih beragam.
“Ada lebih dari 250 siswa dari 48 suku dan dari 26 provinsi di
Indonesia dan Malaysia telah mengikuti program ini,” ucapnya.
Sementara ini, siswa aktif berjumlah 50 siswa dengan 3 angkatan aktif.
Namun, ia mengaku mengalami beberapa kendala dan tantangan dalam
menyelenggarakan sekolah tersebut.
“Tantangan penyelenggaraan sekolah ini setidaknya 3 hal yaitu,
pembiayaan, dukungan publik dan pemenuhan kebutuhan guru,” ucap dia.
Ia pun bercerita, walau pernah berhadapan dua isu besar yaitu isu SARA
pada tahun 2017 dan isu keamanan siswa Papua tahun 2019, hubungan
sekolah dengan warga setempat baik-baik saja.
“Walau begitu, kami kesulitan menghadapi isu kristenisasi Sebagai
akibat dari isu SARA sebelumnya. sulit meyakinkan orang tua siswa dari
warga Pangandaran karena masih banyak yang takut dengan perbedaan
agama. Akan tetapi, setiap angkatan selalu ada siswa lokal yang
mendaftar dengan jumlah 10% hingga 20%,” terangnya.
Ai mengatakan akan terus berupaya untuk mempertahankan keberagaman
yang tidak hanya di kampung Nusantara Desa Selasari.
“Upaya yang kami lakukan adalah selalu menggaungkan program ini
melalui pendekatan media sosial, ragam publikasi dan kolaborasi
kegiatan dengan banyak pihak,” katanya.
Menurutnya, dalam mendirikan kelas ini benefit penyelenggaraan sekolah
lebih ke social capital. “Kami sebagaimana sekolah swasta lain belum
dapat memenuhi kesejahteraan apalagi ini di desa,” ujarnya.
Kendati demikian, kata dia, para penyelenggara mendapat keuntungan
relasi sehingga peluang menyelenggarakan usaha di luar sekolah dapat
terbantu.
Dia menerangkan konsep Pendidikan multikultural adalah konsep yang
diperlukan bukan semata untuk sebuah penyelenggaraan Pendidikan di
sekolah, lebih jauh dari itu, konsep ini menjadi trend baru dunia.
“Masa depan dunia bergantung pada relasi antar manusia yang beragam.
Karena itu program ini cocok untuk menambah daya jelajah, memperluas
relasi dan memperbanyak perspektif untuk mengurangi persepsi buruk
sebagai biang dari terjadinya konflik,” terangnya.
Ai pun meyakini melalui program ini dapat mengurangi kesenjangan dan
konflik antar suku. “Kami yakin program ini dapat mengurangi
kesenjangan sosial dan resiko konflik sosial di kemudian hari,”
katanya.