Yogyakarta – Bulan suci Ramadhan 1441 Hijriyah segera tiba. Sayangnya, Ramadhan tahun ini bakal kehilangan tradisi dan kemeriahan ibadah. Pandemi virus Corona atau COVID-19 membuat umat Islam tidak boleh menjalankan ibadah dan berbagai tradisi Ramadhan di masjid, tapi harus dilakukan di rumah saja.
Kendati demikian, berbagai pembatasan itu tidak boleh menjadi penghalang bagi umat untuk mengisi Ramadhan dengan berbagai ibadah wajib dan sunnah. Selain itu, spirit puasa harus tetap dijadikan ruang untuk melatih diri dengan tetap menjaga jarak dengan nafsu juga membatasi emosi negatif dan provokasi.
Wakil Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Dr. H. Hamim Ilyas, MA mengatakan bahwa dengan puasa orang diharapkan untuk bisa mengendalikan dirinya.
“Bahwa kemudian ada COVID-19 maka menyikapinya harus secara proporsionil. Seperti misalnya untuk mencegah penularan infeksi COVID-19 itu maka dilakukan pembatasan sosial, maka umat islam pun harus melakukan pembatasan sosial, jangan melanggar,” ujar Dr. H. Hamim Ilyas, MA di Yogyakarta, Kamis (22/4/2020).
Hamim juga mengatakan bahwa oaganisasi besar seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah pun juga telah mengeluarkan fatwa, bahwa untuk Qiyamu Ramadhan atau salat tarawih di rumah saja di tengah pandemi Corona.
“Masyarakat harus memperhatikan juga protokol kesehatannya untuk mencegah penularan Covid ini seperti fatwa yang juga telah dikeluarkan oleh MUI dan Muhammadiyah untuk sementara melakukan salat tarawih di rumah,” tutur Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta itu.
Hamim mengungkapkan bahwa puasa itu sebetulnya harus ada hasilnya yaitu taqwa, termasuk kesadaran diri itu.
“Seperti dalam QS Al-Baqarah ayat 183 bahwa sebetulnya puasa itu ada hasilnya. Hasilnya adalah la’allakum tattaqun yaitu takwa. Kalau di dalam Al Quran, takwa salah satu pengertiannya adalah prinsip kesadaran. Jadi orang yang melakukan puasa itu supaya berhasil puasanya maka dia harus memiliki kesadaran baru dari puasanya itu,” jelasnya.
Hamim melanjutkan, kalau selama ini ada yang kurang bersyukur maka dengan puasa kemudian mendapatkan kesadaran baru, bahwa orang tersebut harus bersyukur dengan anugerah yang diterima. Misalnya seperti mata yang bisa berkedip dimana banyak orang tidak menyadari bahwa mata berkedip itu adalah anugerah yang besar.
“Saya pernah nonton di televisi ada seorang wanita di Amerika sakit mata tidak bisa berkedip lalu berobat habis 1 Juta dollar, kalau di kurs kan ke rupiah 1 dollar 14 ribu itu berarti untuk berobat dia habis 14 miliar. Ini kan kesadaran baru bahwa kita harus banyak bersyukur,” kata dosen Magister Studi Islam tersebut.
Hamim menambahkan, ada juga taqwa untuk kesadaran moral seperti yang dijelaskan dalam QS Al A’raf yang berbunyi ‘innalazi nattaqa izamasahun thaifummina syaithan tadzakkaru’.” Jadi orang-orang yang bertaqwa apabila di sentuh oleh setan maka kemudian tadzakkaru mereka langsung sadar,” jelasnya.
Ia memaparkan, pengertian di sentuh oleh setan ini dalam pengertian kalau di dalam hatinya terlintas untuk melakukan tidak baik maka orang yang bertaqwa itu langsung sadar.
“Jadi misalnya dalam wabah COVID-19 ini dalam pemberian bantuan kepada masyarakat, orang yang bertaqwa itu dalam berpuasa jangan sampai terlintas untuk melakukan korupsi pada bantuan tersebut. Apabila sampai terlintas di pikiran maka harus segera dihentikan jangan sampai jadi keinginan apalagi dilakukan,” terangnya.
Hamim juga menyampaikan ada juga kesadaran tentang masa depan yang disitu itu dihubungkan dengan takwa kepada Allah, sehingga umat islam disarankan untuk memiliki kesadaran tentang masa depan. Artinya, umat islam yang berpuasa harus memiliki kesadaran bahwa masa depan itu harus lebih baik dibandingkan dengan masa sekarang.
“Mestinya para pelaku kekerasan atau provokasi yang mengatasnamakan agama itu harus sadar, kekesaran malah mengakibatkan yang namanya Islamophobia orang sinis pada islam. Padahal kalau dia taqwa, pasti memiliki kesadaran tentang masa depan sehingga kalau berdakwah dia pasti melakukannya secara damai dan tidak akan melakukan provokasi, apalagi di tengah pandemi Corona,” ungkapnya
Begitu juga dalam konteks pengendalian diri dalam bermedia sosial di bulan puasa Hamim menyampaikan bahwa kita harus mengikuti golden rule.
“Perlakukanlah orang lain sebagamaina kamu ingin diperlakukan oleh orang lain. Sehingga kalau orang memiliki kesadaran, dia pasti menyadari kalau dia pasti juga tidak ingin menjadi korban ujaran kebencian sehingga dia tidak akan melakukan ujaran kebencian,” ungkapnya
Hamim mencontohkan tentang provokasi di media sosial yang bisa menyebabkan kerusuhan sehingga banyak orang yang meninggal.
“Kalau misal ada orang yang tersangkut kasus di pengadilan, lalu dia difitnah sehingga bisa saja keluarganya dibunuh atau rumahnya dibakar. itu kan berarti fitnah itu lebih kejam, jadi kalau dia orang Islam maka sadarlah,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan bahwa dalam menanggulangi wabah saat ini harus bergotong royong untuk bersama-sama menanggulangi COVID-19 ini.
“Di Indonesia sudah mulai lumayan tinggi kesadarannya. Ada banyak masjid-masjid mengorganisir jamaahnya memberikan bantuan kepada masyarakat yang terdampak wabah COVID-19 ini. Jadi tidak cukup hanya pemerintah saja, masyarakat juga harus terlibat,” tandas Hamim Ilyas.