Jakarta – Puasa adalah bentuk mekanisme diri seperti vaksin untuk memperbaiki atau mensucikan diri. Sejatinya tidak banyak puasa yang berhasil dilakukan manusia, karena kebanyakan manusia itu memaknai puasa itu hanya sekedar memindahkan jam makan yang pada akhirnya tidak berdampak apa-apa dalam diri manusia tersebut.
“Padahal seharusnya puasa itu intinya adalah upaya upaya transformasi. Upaya-upaya deradikalisasi adalah upaya-upaya transformasi mengenai bagaimana mentransformasikan diri dari pemahaman yang radikal menjadi tidak radikal. Dan itu salah satunya seharusnya bisa dilakukan dengan puasa.,” kata Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender / LKAJ, Prof. Dr. Hj. Siti Musdah Mulia, MA, di Jakarta, Kamis (22/6/2017),
Menurutnya, puasa itu sepenuhnya adalah upaya untuk perenungan atau merenungkan kembali keberadaan mengenai kita sebagai manusia. Oleh karena itu, Idul Fitri dimaknai sebagai kembali kepada kesucian diri seperti ketika kita baru diciptakan oleh sang pencipta. Karena salah satu fitrah manusia itu adalah tidak radikal.
“Seharusnya dengan puasa dalam kehidupan kita ini bahwa sepanjang tahun bagaimana manusia itu bisa bersih. Tuhan itu maha adil, dia menciptakan satu bulan khusus yang namanya bulan Ramadan untuk kitasebagai wujud untuk membenahi, memperbaiki, untuk kembali merenungkan kehidupan selama 11 bulan lalu,” ujarnya.
Oleh karena itu menurut wanita kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 3 Maret 1958 ini, bulan Ramadhan ini adalah upaya untuk men-suci kan diri yang kemudian maknanya itu akan dapat dilihat oleh manusia tersebut lihat pada 11 bulan berikutnya.
“Jadi kalau ada manusia setelah Ramadan kembali seperti biasa, ya berarti puasanya tidak memberikan makna yang berarti dalam hidup mereka. Karena saya melihat 11 bulan yang akan datang itulah yang akan menentukan kualitas puasa kita itu seperti apa. Karena kita dalam banyak hadist nabi juga dikatakan bahwa orang yang berpuasa yang mereka peroleh hanya lapar dan dahaga. Dan itu benar.” ujarnya
Wanita yang juga dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah ini menjelaskan dalam buku-buku agama juga dituliskan tentang level-level puasa yang mana ada puasa hanya sekedar menhan makan dan minum atau puasa yang sekedar menahan yang sifatnya material. Namun menurutnya ada puasa yang lebih tinggi tingkat kulitasnya dimana puasa itu bukan hanya sekedar menahan diri dari lapar dan haus
“Tetapi puasa itu bagaimana menahan diri, bagaimana memuasakan pikiran dari hal-hal yang pemikiran negatif, memuasakan syahwat, memuasakan perbuatan. Itu artinya dengan berpuasa selama sebulan itu diharapkan bisa berlanjutnya pada bulan-bulan berikutnya. Jadi itu latihan perbuatan selama sebulan. Sama dengan di militer, itu perlu ada latihan karena kalau tidak latihan maka tidak bisa. Jadi puasa itu seperti latihan penguatan fisik,” ucapnya.
Dikatakan wanita yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) ini, kita sebagai manusia setidaknya harus mempu memanage tiga hal yang paling prinsip dalam diri kita yakni memanage main kita, memanage fardhu kita dan memanage syahwat kita. Karena sebenarnya menjadi manusia juga bukan tanpa tugas dan misi. Apalagi manusia itu dilahirkan tidak seperti flora dan fauna yang hanya untuk sekedar hidup.
“Karena itu kita punya misi bagaimana kita membangun kemaslahatan untuk manusia, kemaslahatan juga untuk mahkluk-mahkluk yang lain dalam hal ini binatang, tumbuhan dan juga alam semesta. Kita tidak boleh mengeksploitasi alam untuk kepentigan pribadi dan kelompok kita saja,” ujarnya.
Untuk itu wanita yang selama ini dikenal sebagai pemikir Islam dan Aktivis sosial ini berharap dalam konteks deradikalisasi ini satu bulan ramadan ini umat manusia betul-betul bisa memperbaharui, melatih pikiran, perasaan dan juga mindset seseorang itu tidak menjadi radikal.
“Karena saya yakin jika seseorang berpuasa dengan sebenar-benarnya dan bisa mengontrol dirinya, dengan latihan selama sebulan ini, saya benar –benar percaya bahwa puasa itu mampu mendidik manusia menjadi bertaqwa,” katanya mengakhiri.