Jakarta – Bulan Ramadan merupakan bulan suci di mana umat muslim senantiasa harus menebarkan kedamaian dan berlomba-lomba untuk mendapatkan pahala. Puasa berarti tidak hanya menahan haus dan lapar, tetapi juga menahan segala sesuatu yang menjerumuskan pada keburukan dan kekerasan. Karena itulah, sudah seharusnya orang yang memiliki hobi menebar ujaran kebencian (hate speech) harus menahan diri untuk tidak mengotori bulan dengan sesuatu yang buruk. Puasa adalah ‘benteng’ paling efektif untuk melawan ujaran kebencian dan terorisme.
“Kekerasan itu hanya beda satu level dengan ujaran kebencian. Sudah seharusnya di bulan yang penuh berkah ini kita beramai-ramai membersihkan hal buruk dan menjadikannya menjadi hal yang baik. Kita harus bersatu melawan ujaran kebencian, apalagi terorisme. Karena sebenarnya keduanya sama-sama merugikan. Apalagi tindakan terorisme yang melukai polisi dan masyarakat umum sangat bertentangan dengan ajaran agama manapun,” ujar pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta M. Zaki Mubarak di Jakarta, Jumat (18/5/2018)
Menurut Zaki, kebanyakan mereka yang gemar menerbar ujaran kebencian dan melakukan tindakan terorisme terdiri dari dua faktor. Pertama, kesalahan pemahaman dalam beragama. Ada sebagian kelompok kecil masyarakat yang masih mengira seperti aksi terorisme itu untuk melindungi agamanya, padahal apa yang mereka lalukan adalah sebaliknya.
Ia menilai P\pemahaman agama yang dangkal ini justru banyak terpengaruh di kalangan anak muda. Usia muda paling rentan terlibat radikalisme dan terorisme. Mereka menjadi sasaran terorisme karena adanya faktor lingkungan yang mendukung, ketidakefektifan lembaga keagamaan dan masyarakat, fase mencari jati diri dan fase dimana mereka menilai radikal dan ekstrim lebih menantang.
Kedua, lanjut Zaki, campur tangan politik. Faktor ini, dipandang paling tidak bermoral dan paling keji. Hanya untuk kepentingan kelompok dan golongannya, ada sebagian kelompok yang tega membelokkan ajaran agamanya dan berdampak kepada kerugian lingkungan dan masyarakat umum.
Karena itulah, dalam konteks masifnya penyebaran ujaran kebencian dan tindakan kekerasan yang didasarkan pada pemahaman keagamaan yang sempit, puasa harus dijadikan benteng. Puasa yang secara esensi berarti menahan diri harus dimakna sebagai menahan dari berbagai bentuk ujaran kebencian, kekerasan dan tindakan lain yang merugikan diri dan lingkungan.
“Substansi puasa bukan hanya menahan lapar dan haus tetapi juga menahan hawa nafsu yang dapat menyakiti manusia dan lingkungan sekitarnya. Saya berharap kaum muslimin dapat mengintrospeksi dirinya, dapat melihat horizon yang lebih luas bahwa umat manusia itu bersaudara, manusia tidak ada yang sempurna. Nah karena tidak ada yang sempurna harusnya manusia bisa saling melengkapi kekurangan satu sama lain. Beramal makruf nahi mmungkar bersatu padu dan jangan saling melukai,” ajak Zaki.
Perlu disadari bahwa Islam itu adalah agama keselamatan bukan agama yang mengajarkan amalan untuk melukai orang lain. Islam itu agama kebaikan bukan agama penebar kebencian. Di momentum Ramadan ini umat Islam didorong menjadi muslim yang selalu menebar kedamaian dan menahan kekerasan.
“Pada bulan ramadan yang penuh berkah ini dan kemulyaan ini dapat kita gunakan untuk beramal soleh kita perlu intropeksi diri, kita perlu tahu bahwa ajaran islam adalah ajaran yang penuh dengan kedamaian ajaran yang anti kekerasan. Maka tanggung jawa kita semua untuk saling mengingatkan kepada saudara kita yang lain untuk menjauhi kekerasan dan memperjuangkan kedamaian. Dan bersatu untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” tutup Zaki.