Psikolog: Orang Terlibat Terorisme Akibat Merasa Minoritas dan Terasing

Tulungagung – Timbulnya perasaan terasingkan atau merasa sebagai minoritas menjadi kerentanan masuknya paham radikalisme. Pada momen itulah kesenjangan psikologis individu dapat tergoyahkan dengan internalisasi nilai-nilai yang akan mendorong lahirnya konflik dalam diri.

Pengamat psikologis, Nuzulunni’mah mengatakan, kondisi psikologis dari seseorang yang terlibat aksi terorisme umumnya merupakan orang-orang yang merasa menjadi minoritas, terancam hingga mengalami depresi.  Menurut dia, individu yang terlibat dalam proses terorisme mengalami suatu proses yang dinamakan pra-radikalisasi.

“Mereka merasa terasingkan, merasa kebijakan-kebijakan yang ada itu memojokkan dia. Kondisi-kondisi itu menumpuk dipikirannya hingga mengalami depresi,” ujar Nuzulunni’mah di Tulungagung, Selasa (5/6/2023).

Pernyataan itu diungkapkan untuk menanggapi penangkapan terduga teroris yang dilakukan oleh Densus 88 di Tulungagung, Jawa Timur. Selain di Tulungagung, Densus 88 juga menangkap terduga teroris di Bima dan Banyuwangi.

Ia melanjutkan, dalam proses pra-radikalisasi tersebut, individu mengalami internalisasi nilai-nilai yang bersifat ekslusif. Adapun seperti nilai keagamaan, moral, perjuangan dan kehormatan. Pada proses inilah, individu tersebut mengalami kegoyahan dalam dirinya.

“Semua pengetahuan yang dimiliki dan diyakini sebelumnya goyah dengan internalisasi nilai itu. Semuanya bermula pada kondisi perasaan yang dialami,” ucapnya.

Dalam proses ini pula, ungkapnya, individu tersebut mengalami proses religious seeking atau pencarian agama. Pada kasus ini akan mendorong lahirnya konflik dalam diri. Adapun seperti timbulnya rasa berdosa, kemudian perasaan tersebut mendorongnya untuk memperbaiki diri.

“Namun perbaikan diri yang mereka lakukan dengan mengambil referensi yang baru untuk standar perilaku manusia. Nah di sinilah terjadi pemahaman salah yang terbentuk dalam proses berpikir para pelaku teroris itu,” paparnya.

Disinggung perihal perbedaan radikalisme dengan terorisme, dia mengaku bahwasannya selama ini masyarakat beranggapan apabila setiap individu radikal sudah pasti seorang teroris. Persepsi ini sama halnya menyamakan pengertian radikalisme dengan terorisme. Namun menurutnya tidak setiap individu yang memiliki paham radikal merupakan teroris.

“Tetapi teroris sudah pasti memiliki paham yang radikal,” ungkapnya.

Mengetahui hal tersebut, perlu adanya perhatian dari lingkungan terdekat agar terhindar dari paham-paham yang menyimpang dari seharusnya. Dengan memberikan perhatian serta kepedulian dapat mengurangi beban dari individu tersebut. Sebab manusia tidak lepas dari kodratnya sebagai makhluk sosial yang membutuhkan kedua hal tersebut.