Mataram – Koordinator Wilayah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bali – Nusa Tenggara Barat, Abdul Latief Apriaman, menegaskan profesionalisme jurnalis mutlak harus ditegakkan agar peredaran berita bohong atau hoax bisa diredam. Tidak ada alasan untuk tak menegakkan profesionalisme, termasuk soal kesejahteraan.
Menjadi narasumber dalam kegiatan dialog Literasi Media sebagai Upaya Cegah dan Tangkal Radikalisme Terorisme di Masyarakat di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Rabu (24/5/2017), Latief mengakui sebagian besar jurnalis di NTB belum mendapatkan kesejahteraan yang layak atas pekerjaan yang dijalaninya.
“Masih ada jurnalis di NTB yang nyambi mencari iklan untuk kesejahteraannya sendiri, meskipun ini sebenarnya tidak boleh. Ini yang terkadang menjadikan jurnalis bias dalam menjalankan tugasnya,” kata Latief.
Latief menegaskan, alasan apapun tidak diperbolehkan untuk menjadikan seorang jurnalis berlaku profesional ketika bertugas. “Menghadapi banyaknya hoax, hanya satu yang bisa dilakukan jurnalis, yaitu berlaku profesional. Bekerjalah sesuai kode etik jurnalistik, ketat melakukan verifikasi terhadap setiap isu, dan jangan lupa mengikuti uji kompetensi untuk terus meningkatkan kapasitas,” tandasnya.
Anggota Dewan Pers, Anthonius Jimmy Silalahi, membenarkan apa yang dikatakan Abdul Latief Apriaman. Jimmy menambahkan, hal lain yang mendorong profesionalitas wartawan rendah adalah minimnya perhatian pemerintah.
“Saya banyak berbicara dengan kepala daerah di berbagai provinsi, kota dan kabupaten di Indonesia. Mereka mengaku memiliki alokasi khusus untuk wartawan, yang sayangnya salah dalam pemanfaatan,” ungkap Jimmy.
Jimmy mencontohkan, pada Bagian Humas sebuah pemerintah daerah biasanya memiliki anggaran untuk wartawan untuk tujuan kemitraan dan kesejahteraan. Sayang, pemanfaatannya lebih banyak hanya sekedar suka-suka tanpa ada manfaat positif di dalamnya.
“Jangan lagi menganggarkan untuk ngamplopi wartawan. Gunakan anggaran yang ada untuk mendukung peningkatan profesionalitas wartawan, misalnya, lakukan pelatihan profesi dan mendukung terlaksananya uji kompetensi melalui lembaga penguji terdaftar,” saran Jimmy.
Apabila profesionalitas wartawan tumbuh, masih kata Jimmy, pemberitaan yang dihasilkan akan dapat dihindarkan dari kemungkinan bermuatan kebohongan. Ditegaskannya pula, berita bohong yang dihasilkan dan dipublikasikan wartawan melalui media massa pers memiliki kerentanan disusupi paham radikal terorisme. “Dengan tidak ikut menyebarluaskan informasi dan berita bohong, kita sudah tercatat menjadi pegawai pemerintah yang ikut meredak radikal terorisme. Sebaliknya, jika masih melakukannya kita adalah bagian dari pelaku terorisme,” pungkasnya tegas.
Dialog Literasi Media sebagai Upaya Cegah dan Tangkal Radikalisme Terorisme di Masyarakat terselenggaran atas kerjasama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT). Ini merupakan salah satu metode yang dijalankan dari kegiatan Pelibatan Media Massa Pers dalam Pencegahan Terorisme. Dua metode lainnya adalah visit media, kunjungan dan diskusi ke redaksi media massa pers, serta lomba karya jurnalistik yang mengambil tema kearifan lokal sebagai sarana pencegahan terorisme. [shk/shk]