Relasi antara media massa dan terorisme bisa merupakan relasi simbiosis mutualisme dimana kedua belah pihak memerlukan satu sama lain dalam sebuah hubungan yang saling menguntungkan. Media massa membutuhkan pemberitaan tentang terorisme untuk diberikan kepada publik, dan secara langsung akan memberikan keuntungan kepada para teroris untuk mendapatkan tujuan mereka, yaitu menebar ketakutan secara meluas.
“Setiap jurnalis harus berpegang pada prinsisp pencarian kebenaran, loyalitas pada warga negara, independen, komprehensif dan proposional, dan yang terpenting adalah mendengar hati nurani jurnalis”, sebut Anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi pada pemaparannya di acara diseminasi “Pedoman Peliputan terorisme dan Peningkatan Profesionalisme Media Massa dalam Meliput Isu-Isu Radikalisme-Terorisme” di Hotel Pangeran Beach Padang, Selasa (16/08/2016).
Imam juga menekankan pentingnya pemilihan kosakata saat menulis isi konten berita yang akan diberikan kepada masyarakat luas. Jangan sampai pemilihan kata yang yang salah malah membawa opini publik kepada hal-hal yang bertentangan dengan tujuan sebenarnya. Misalkan pemakaian kata “pengantin” yang disematkan kepada para bomber yang melakukan aksi bom bunuh diri. Hal tersebut dapat mengiring opini seorang yang melakukan aksi terkutuk tersebut adalah seorang pengantin yang sudah ditunggu oleh bidadarinya di surga. Padahal itu hanya khayalan kosong belaka yang tidak pernah ada dalilnya.
Para jurnalis media yang ikut pada pelatihan ini sangat antusias mengikuti kegiatan ini, karena menurut salah satu peserta hal-hal yang disampaikan oleh para narasumber merupakan kebiasaan meliput yang selama ini ternyata masih jauh dari kode etik jurnalistik. Salahsatunya untuk mendapatkan berita yang eksklusif biasanya para pemburu berita kurang memperhatikan keselamatan mereka, dan bahkan bisa saja menggangu tugas aparat yang sedang melakukan penangkapan terhadap para tersangka kejahatan khususnya para teroris.