Paris – Perdana Menteri Prancis Jean Castex pada Rabu (9/12) mengumumkan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menangani ekstrimisme radikal. RUU tersebut diumumkan dalam sebuah konferensi pers setelah rapat kabinet yang juga dihadiri oleh Presiden Prancis Emanuel Macron.
RUU Anti separatisme tersebut akan fokus kepada komunitas etnis, termasuk Muslim yang tidak selalu berasimilasi dengan masyarakat dan budaya Prancis. Demikian dikutip Anadolu Agency, Kamis (10/12).
Untuk menghindari kontroversi RUU tersebut, Castex menjelaskan, “naskah tersebut bukanlah teks yang menentang agama, maupun Muslim pada khususnya. Ini adalah hukum emansipasi dalam menghadapi fanatisme agama”.
Berjumlah 50 artikel (pasal), RUU tersebut memuat ketentuan setiap segi kehidupan.
RUU tersebut memungkinkan kontrol yang lebih ketat atas pendanaan sekolah dan anggota parlemen dapat berkonsultasi dengan catatan kriminal dari semua guru di sekolah swasta.
Aparat penegak hukum juga punya kewenangan untuk mengatur penggunaan ruang publik yang dapat mencakup pertemuan keagamaan.
“Kami akan mengizinkan para prefek campur tangan untuk memaksakan nilai-nilai republik dan memastikan bahwa mereka dihormati ketika pelanggaran prinsip-prinsip republik terjadi,” kata Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin, yang juga berpidato dalam konferensi pers itu.
Ia mengatakan, RUU itu dibuat setelah serentetan serangan teror di Prancis musim gugur ini yang merenggut empat nyawa, termasuk seorang guru.
Sejarawan dan sosiolog Prancis Jean Bauberot adalah salah satu kritikus RUU yang lebih vokal. Dalam wawancara dengan Franceinfo pada Selasa (8/12) ia mengkritik RUU tersebut.
“Ini bukan cara yang tepat untuk menegakkan prinsip-prinsip sekularisme,” kata Jean.