Paris – Jaksa Anti-Terorisme Prancis, Francois Molins, menyebut pemerintah Prancis akan membebaskan sekitar 40 narapidana teroris (napiter) secara bertahap pada tahun 2018 dan 2019. Meski begitu, dia juga tak menampik risiko dan potensi adanya napiter yang kembali berulah setelah kembali ke masyarakat.
“Prancis masih menghadapi ancaman signifikan dari sel-sel jaringan teroris ISIS. Kewaspadaan kami tetap di level tertinggi untuk mengantisipasi segala bentuk ancaman teror yang bisa datang kapan saja,” aku Molins berbicara di televisi BFM, Senin (28/5), dan dikutip foxnews, Selasa (29/5).
Molins juga memperkirakan saat ini adalah sekitar 600 hingga 700 orang ekstrimis Prancis yang belum ditemukan di Irak dan Suriah paska bergabung dengan ISIS. “Kemungkinan sebagian sudah terbunuh dan beberapa di antaranya terlibat dalam serangan teror maut serentak di Prancis pada tahun 2015,” kata Molins.
Dilanjutkan, pemerintah Prancis juga sudah berencana untuk mengakhiri penyelidikan serangan teror maut serentak yang terjadi di aula konser Bataclan, kafe-kafe Paris dan stadion nasional Stade de France pada tahun ini.
Sekadar mengingat lagi, serangan maut yang menewaskan 130 orang itu terjadi saat konser musik rock grup Eagles of Death Metal di Bataclan, pada 13 November 2015. Ketiga penyerang yang merupakan warga Prancis itu belakangan diketahui terdaftar dalam dokumen fomulir pendaftaran anggota Islamic State (ISIS).
Ketiga pelaku teror yang terdaftar dalam dokumen ISIS itu adalah Foued Mohamed-Aggad (23), Samy Amimour (28), dan Omar Ismail Mostefai (29). Mostefai tinggal di pinggiran Paris. Amimour mantan sopir bus dari Drancy dan Mohamed-Aggad berasal dari Strasbourg.