Jakarta – Beberapa pekan terkahir, keterpaparan masyarakat oleh virus Covid- 19 semakin meningkat. Bahkan sebaran zona merah pun juga semakin bertambah. Pemerintah dan masyarakat bahu-membahu menerapkan protokol kesehatan (prokes) sesuai aturan untuk menekan laju pandemi ini. Namun demikian, masih saja ada pihak-pihak yang merespon prokes dengan narasi pelarangan tempat ibadah.
Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia (Sekjen PP DMI) Drs. H. Imam Addaruqutni, M.A., mengatakan bahwa sebetulnya, DMI sendiri sudah berkali-kali menyampaikan lewat media massa baik radio, media online, cetak dan televisi terkait aturan prokes di tempat ibadah. Tetapi memang kembali lagi, hal ini bergantung pada pola hidup manusianya sendiri.
“Kebijakan PPKM (Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) darurat ini tentu adalah bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap keselamatan warga bangsa ini,” ujar Drs. H. Imam Addaruqutni, M.A., di Jakarta, Rabu (7/7/2021).
Imam menyebut, bahwa terkait dengan kemaslahatan seluruh umat warga bangsa ini, maka kaidahnya yakni ‘dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih’. Jadi menghindarkan bahaya itu harus diutamakan ketimbang mengambil maslahatnya atau kebaikannya atau ‘mashalih’. Jadi ‘mashalih’ adalah jabaran dari maslahat-maslahat.
“Sekarang kalau kita pergi lalu pola penyebaran Covid-19 itu melalui kerumunan manusia yang ada di dalam masjid atau tempat ibadah itu adalah jamaah, maka untuk sementara waktu orang tetap bisa menjalankan syariat itu di rumahnya masing-masing. Sebenarnya itu saja yang harus dipahami masyarakat,” tutur Imam.
Karena sebetulnya, pria yang juga berprofesi sebagai Dosen di Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ) ini menyebut bahwa hal ini tidak selalu berkaitan dengan soal radikalisme, tetapi ini pemahaman yang utuh mengenai apa yang disebut sebagai menjalankan syariat dengan ketika datang pada waktu yang sama dengan adanya bahaya wabah ini.
“Bahkan kita sudah sampaikan ke seluruh Pimpinan Wilayah-wilayah Dewan Masjid Indonesia, dimana untuk yang wilayah yang masuk zona merah, kami mengimbau untuk mengikuti saja kebijakan pemerintah ini,” jelasnya.
Apalagi dirinya juga mengungkapkan bahwa selamat manusia kalau dilihat dari sudut Al Ahkamul Khamsah atau lima hukum agama, maka ada pada ‘hifd ad-din’ atau menjaga agama dan ‘hifd an-nafs’ atau menjaga jiwa. Dimana ini kedua-duanya terjaga, dalam konteks in , syariatnya terjaga atau dijaga, kemudian menjaga kesalamatan jiwa juga terjaga dengan tidak ke masjid untuk sementara, terutama bagi yang wilayahnya dikenakan PPKM darurat atau masuk zona merah.
“Sebenanrya kalau zonanya tidak merah atau zona hijau saya kira tidak ada masalah, tetapi harus tetap dengan berhati-hati dan harus menerapkan protokol kesehatan disitu untuk mencegah menyebaran virus tersebut,” terang pria yang juga Wakil Rektor IV Bidang Pengembangan dan Kerjasama Institut PTIQ itu.
Lebih lanjut, ia juga mengingatkan bahwa daerah-daerah seperti yang dinyatakan sebagai daerah yang harus ditutup, tentu harus benar-benar ditutup dan aparatnya harus benar-benar hadir disitu. Dirinya mencontohkan kejadian di beberapa pasar yang ia temui, dimana sebagian orang tidak memakai masker bahkan tidak ada aparat yang menegakkan aturan selama PPKM darurat disitu.
“Sebenarnya aturan PPKM darurat ini sudah benar, tetapi bisa menjadi salah, bukan karena aturan tapi penegakannya. Jadi kalau ini sudah merupakan sebuah kebijakan, tentunya harus diikuti juga instrumen-instrumen penegakan,” tegasnya.
Selain itu, menurut mantan Kepala Biro Umum Institut PTIQ ini, masyarakat sendiri sebenarnya sudah mengikuti keteladanan dari pemimpinnya, siapapun dia. Sehingga memang perlu keteladanan yang baik dari para pemimpin negara dan pemuka agama agar masyarakat juga mematuhi.
“Jadi soal keteladanan pada dasarnya menurut saya ini di Indonesia sudah bagus. Siapapun dia, apakah dia dari golongannya atau bukan, kalau dia pemimpin tapi ada keteladanan tentu sudah pasti itu ada. Jadi kita harapkan hal itu tidak dicampur antara bagaimana kepatuhan orang pada pemimpin dengan kepatuhan orang pada suatu kebijakan itu,” ujar mantan Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik, Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini.
Lalu ia pun mencontohkan Dewan Masjid Indonesia sendiri melalui Jususf Kalla (JK) selaku Ketua Umum yang pernah memberikan contoh dan edukasi terkait hal ini. Dimana Dewan Masjid Indonesia adalah ormas yang pertama kali membicarakan Covid-19 ini secara internal dan mengundang beberapa orang membicarakan kemungkinan kemungkinan itu setelah ada dua kasus untuk dua orang yang ada di Depok dulu.
“Jadi saat itu kita juga membuat edaran agar karpet masjid digulung, kemudian membuat jarak mulai diatur, jangan rapat-rapat. Itu saja kita sudah dikritik waktu itu. Tanggapannya saat itu ’dimana kita sholat saja disuruh merapatkan barisan, kok ini malah disuruh memberi jarak’. Seperti itu kritiknya pada kami saat itu,” ungkap mantan Sekretaris Komisi Ukhuwah Islamiyah Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.
Termasuk juga menurutnya edaran mengenai sholat jumat, sholat Idul Fitri dan sholat Idul Adha yang untuk sementara waktu dilakukan dirumah juga sudah sering disampaikan oleh Dewan Masjid Indonesia untuk terus dingatkan kepada masyarakat, namun masih tetap saja mendapatkan kritikan pada saat itu. .
“Itu saja kami dikritik dan memushi kami terus pada saat itu. Padahal kita ingin memberikan edukasi bahwa Covid-19 yang sangat berbahaya ini basisnya yaitu kerumunan dan kedekatan orang. Tapi itu terus kita lakukan agar ini juga diedukasi melalui suara sound system masjid agar para takmir-takmir masjid atau Marbot-Marbot masjid mengikuti perkembangan dan kemudian menyerukan masyarakat untuk benar-benar memperhatikan kesehatan,” ujarnya.
Jadi intinya, ia menyampaikan bahwa antara kebijakan satu hal dengan proses edukasi masyarakat itu harus berjalan secara seimbang. Disamping itu ia juga menegaskan aparat penegak juga harus hadir sekaligus harus juga ada unsur edukatif.
“Aparat yang turun itu juga harus memberikan edukasi juga, bukan soal penegakan-penegasan saja. Saya kira itu lebih bagus,” kata mantan Dekan Fakultas Syari’an Institut PTIQ ini mengakhiri.