Jakarta- Pembiayaan kegiatan aksi teror bisa melalui berbagai sumber, baik itu yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Sejak 2003 hingga saat ini, pembiayaan kegiatan teroris pun terus berkembang.
Hal itu dikatakan, Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kiagus Ahmad Badaruddin. Dia mengakui, saat ini pihaknya terus mewaspadai adanya sumber-sumber dana pembiayaan teroris. Termasuk, pembiayaan kegiatan teroris yang berasal dari pencucian uang peredaran narkotika (narcoterorism).
“Kewaspadaan itu perlu terhadap segala hal. Dalam kaitannya dengan antara narkotik dan pendanaan teroris, potensi itu ada walaupun belum ada kasus yang diputuskan di pengadilan yang menunjukkan keterkaitan itu,” kata Kiagus Ahmad Badaruddin kepada wartawan di Jakarta, Rabu (29/3/2017).
Dikatakan, potensi pembiayaan kegiatan dan aksi teror yang bersumber dari pencucian uang hasil penjualan narkotika tetap ada di Indonesia. Oleh sebab itu kepada seluruh aparat penegak hukum diingatkan untuk merapatkan barisan guna mengantisipasi kejahatan luar biasa ini.
Selain mewaspadai narcoterorism, PPATK juga melihat adanya kemungkinan dan hubungan antara cyber crime dengan terorist financing. Berdasarkan sejumlah kasus yang sudah terungkap, diketahui para pelaku teroris juga sudah memanfatkan mekanisme pembayaran online Paypal dan mata uang virtual dalam financial technology (fintech).
Guna membongkar pendanaan tindak pidana terorisme yang mulai menggunakan teknologi berbasis keuangan fintech, PPATK juga menggandeng Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ke depan, juga akan membentuk regulasi yang akan mengatur pembiayaan dan transaksi melalui fintech.
“Keterkaitan antara cyber crime dengan terorist financing juga kami waspadai. Cyber crime itu tidak mengenal batas wilayah dan mereka bisa bekerja sama dengan jaringan atau sindikat asing. Hasil-hasilnya tentu dapat dimanfaatkan untuk mendukung terorist financing. Saya kira unit-unit kita di Densus dan Bareskrim sudah bekerja sama dan bekerja keras untuk itu,” kata Badaruddin.
Sementara itu, Direktur Pemeriksaan dan Riset PPATK, Ivan Yustiavandana menjelaskan, dalam hasil kajian antara PPATK dan Densus 88, diketahui ada perkembangan metode terrorist financing di Indonesia. Kelompok aksi teror, pada masa sebelum tahun 2003 biasanya mendapatkan uang tunai dengan menyelundupkan uang tunai melalui perbatasan antarnegara, melalui international NPO, domestic NPO, hingga perampokan bank.
Kemudian pada periode 2003 sampai 2012 biasanya melalui domestic private donation, perampokan bank, local publisher companies, MLM Website hacking, hingga commercial industries. Selanjutnya setelah tahun 2012 sudah berkembang melalui crowd funding, NPO, pendanaan dari negara berisiko tinggi, pendanaan pribadi hingga aktivitas kriminal yang di dalamnya bisa saja termasuk narcoterorism.
“Ya pasti (semuanya) bisa menjadi modus sumber dana. Narkotik memang marak, tapi me-link kan ke terorisme itu sudah masuk pro justitia di domainnya BNN atau Densus 88,” jelas Ivan.
Cara memindahkan dana tersebut, kelompok aksi teror juga biasa melakukan beberapa cara. Di antaranya melalui transaksi tunai, membawa tunai menyeberangi perbatasan negara, transfer bank, virtual currency, wordwide online payment gateway, hingga pemindahan melalui anggota keluarga
Sedangkan untuk metode pengggunaan uangnya, biasanya dipecah menjadi beberapa bagian yaitu untuk kepentingan organisasi teror (rekrutmen, pelatihan, propaganda), untuk akomodasi (sewa mobil, sewa rumah, tiket, paspor, visa, dan lain-lain) hingga untuk kegiatan operasional (membeli bahan peledak, persenjataan, dan obat-obatan).