Jakarta – Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, pendanaan terorisme di Indonesia sudah berubah. Dulu, pola pendanaan teroris dimulai dari pengumpulan dana yang berasal dari dana kalangan mereka sendiri. Kini, kelompok terorisme mengumpulan dana melalui media sosial (medsos) atau ‘crowd funding’.
Dikatakan, kelompok terorisme memasang iklan dalam bentuk disamarkan dan akan merujuk ke rekening tertentu. Penyetorannya pun dilakukan dengan tunai sehingga menimbulkan kesulitan untuk dilacak dan membutuhkan waktu yang lama. Peran Medsos yang sebelumnya hanya sebagai alat propaganda turut mengubah pola penggunaan dana dari kelompok teroris.
“Dulu, sebagian pendanaan itu digunakan untuk organisasi atau gaji para teroris dan juga propaganda. Sekarang lebih banyak dibelikan senjata dan hal lainnya. Hal ini disebabkan mereka telah menggunakan medsos untuk alat propaganda sehingga biaya untuk sektor tersebut menjadi lebih kecil,” kata Kiagus Ahmad Badaruddin melalui rilisnya kepada wartawan, Rabu (20/12/2017).
Menurutnya, kesulitan lain terkait dengan dana self-financing yang secara jumlah hanya nominal-nominal yang kecil dan berasal dari kegiatan yang halal. Dia mencontohkan hasil menjual voucer telepon seluler atau dagangan kecil dan usaha kecil lainnya. Dana-dana tersebut kemudian dikumpulkan teroris untuk kegiatan mereka.
Itulah yang menyebabkan PPATK harus meneliti setiap rekening dengan ketelitian dan kesabaran. Bahkan, pihaknya juga mengawasi segala transaksi rekening dari luar negeri dan sebaliknya. “Oleh sebab itu, PPATK dalam International Fund Transfer Instruction (IFTI) tidak menggunakan threshold, artinya berapa pun nominal uang yang masuk dan keluar tetap dilaporkan ke PPATK,” pungkasnya.