Jakarta – Tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT) lebih sulit diselidiki daripada tindak pidana yang berkaitan dengan uang lainnya. Menyiasati hal tersebut, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengembangkan sistem informasi yang diharapkan bisa membantu mempermudah penelusuran tersangka.
Dikutip dari Jawapos.com, Deputi Pemberantasan PPATK Firman Santyabudi menyatakan bahwa penyempurnaan database memang penting. Namun, database yang berbasis transaksi keuangan elektronik saja tidak cukup. Sebab, pendanaan terorisme tidak melulu menggunakan teknologi elektronik. Untuk meminimalkan jejak, justru tidak jarang pendanaan terorisme dilakukan secara tunai dengan sumber pendanaan yang sejatinya juga halal.
Tren yang baru ditangani PPATK, pelaku terorisme tidak bergerak secara berkelompok. Tetapi beraksi sendiri alias lone wolf. Meski kemungkinan tetap didapat dari jaringan tertentu, pendanaannya dibuat lebih sulit terlacak karena berbentuk sumbangan untuk perorangan.
Karena terorisme telah menjadi musuh bersama semua negara, PPATK berupaya meningkatkan kerja sama dengan berbagai negara dalam isu tersebut. Khususnya di wilayah Asia Tenggara. Bersama Australia dan Malaysia, badan intelijen keuangan Indonesia itu mengembangkan sistem yang dinamai terrorism financing information sharing platform (TFISP).
Sistem tersebut akan mempermudah pertukaran informasi antarnegara terkait dengan aliran pendanaan terorime. Prosesnya lebih cepat dan penyampaian data lebih aman. PPATK pernah melayani permintaan data dari 97 negara lewat pilot project sistem informasi tersebut. Sebaliknya, Indonesia juga menerima informasi dari 53 negara.