Jakarta – Potensi ancaman terorisme di tahun 2017 dinilai sangat besar. Karena itu, Indonesia harus benar-benar mewaspadai kombatan WNI yang ‘mudik’ dari Suriah dan Irak serta media sosial yang terbukti menjadi ajang penyebaran dan komunikasi pelaku terorisme.
Pengamat Intelijen Marsda TNI (pur) Prayitno Ramelan mengungkapkan bahwa terorisme adalah ancaman global, seperti yang sekarang dilakukan ISIS. Dikendalikan dari Suriah dan Irak, ISIS terus melancarkan aksi-aksi terorisme di seluruh dunia. Itu dibuktikan dengan aksi-aksi terorisme di Indonesia tahun 2016 lalu, yang terbukti dikendalikan oleh Bahrun Naim dari Raqqa, Suriah.
Sejauh ini, belum diketahui adanya dukungan dana besar lewat Bahrun Naim ke sel-selnya di Indonesia. Justru harus diperhatikan adalah perintah juru bicara ISIS Muhammad Al Adnani sebelum tewas, yang memerintahkan agar sel-sel di setiap negara melakukan aksinya di negaranya masing-masing. Perintah itu dikeluarkan karena posisi ISIS terus tertekan, terutama di Mosul, Irak.
“Jadi para jihadis yang sekarang berada di Suriah dan Irak disuruh pulang dan ISIS akan membagi-bagikan sumber daya dan dana kepada mereka untuk membiaya operasi terorisme mereka. Saat ini masih ada 500 WNI di Raqqa, Suriah. Bayangkan kalau mereka pulang ke Indonesia, sementara hukum di Indonesia belum jelas,” ungkap Prayitno Ramelan di Jakarta, Senin (9/1/2017).
Menurut Pray, panggilan karib Prayitno Ramelan, Mosul akan menjadi pemicu dari perintah Al Adnani tersebut. Ia yakin, bila Mosul jatuh, ISIS juga akan habis dan kombatan dari seluruh dunia, termasuk Indonesia, akan pulang. “Ini harus diantisipasi dan jangan pernah memandang sebelah mata keberadaan para kombatan tersebut. Mereka telah terlatih dan mendapat latar motivasi, juga didoktrinasi dengan wawasan ideologis ISIS,” terang Pray.
Fakta itulah, lanjut Pray, yang bisa memunculkan bahaya ancaman terorisme yang muncul tahun 2017 akan lebih besar. Dan itu sudah ia perkirakan sejak tahun 2014 lalu. Apalagi faktanya 2016 lalu, sel-sel terorisme di Indonesia masih banyak dan muncul dibawah kendali Bahrun Naim seperti bom Thamrin, aksi lone wolf di Medan dan Tangerang, serta rencana teror bom di Bintara, Bekasi.
Khusus Indonesia, Pray yakin, ISIS menyerahkan ke orang Indonesia seperti Bahrun Naim, Bahrumsyah, dan Abu Jandal. Untuk Abu Jandal, ia belum yakin pria asal Pasuruan sudah tewas karena dari kabar terakhir yang diterima, Abu Jandal justru berada di perbatasan Suriah-Irak dan memimpin Khatibah Nusantara. Dari ketiga orang itu, Bahrun Naim dinilai yang paling lihai denganbanyak belajar strategi, ilmu intelijen, dan komunikasi dengan jaringan terorisme lain selama berada di Suriah. Bahrun Naim juga piawai memainkan media sosial untuk menggerakkan sel-selnya di Indonesia, tanpa mereka saling mengenal.
“Media sosial ini juga harus diwaspadai. Mereka mudah sekali menyusup di media sosial melalui pemberitaan, gambar, dan video. Saya juga mengkhawatirkan Bahrun Naim ini mampu memotivasi sel-sel tidur di sini untuk melakukan aksi teror Lone Wolf (aksi sendirian). Aksi teror Lone Wolf ini sangat sederhana. Mereka bisa beraksi tanpa bom atau senjata, cukup dengan senjata tajam,” kata Pray.
Selain itu, Prayitno Ramelan juga menggarisbawahi peran media. Menurutnya, aksi terorisme sangat mengharapkan diberitakan besar-besaran oleh media massa. Ironisnya, media selalu memberikan porsi pemberitaan yang besar setiap terjadi aksi terorisme. Padahal tanpa disadari hal itulah yang diinginkan pelaku terorisme yaitu mendapat pemberitaan gratis.
“Aksi terorisme tidak ada artinya tanpa diberitakan media. Karena itu, media harus menyadari dan tidak terlalu membesarkan aksi terorisme. Intinya, media harus bijak dalam menyikapi aksi terorisme,” pungkas Prayitno Ramelan.