Jakarta – Polisi menggambarkan penyebaran kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) lebih masif dibanding kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI). Hal tersebut lantaran JAD membangun sistem yang terstruktur di dunia maya, yaitu media sosial.
“JAD tidak terstruktur di lapangan, beda dengan JI yang terstruktur di lapangan. Mereka terstrukturnya secara virtual,” kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (14/10/).
Hal tersebut disampaikan Dedi bersamaan dengan rilis penangkapan 22 terduga teroris dalam kurun 10-14 Oktober 2019 atau usai penusukan terhadap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto oleh terduga teroris Syahrial Alamsyah alias Abu Rara di Menes, Pandeglang, Banten.
Dedi menyebut JAD membangun sistem komunikasi virtual yang intens dengan simpatisan dan anggotanya. Dalam kelompok ini, anggota yang hendak melakukan amaliyah akan memberi kabar terlebih dahulu lewat aplikasi media sosial, salah satunya Telegram.
“Intensitas komunikasinya terstruktur dan sistematis. Kalau mau melakukan amaliyah, mereka akan sampaikan di Telegram maupun media sosial lainnya, misalnya ‘Saya akan melakukan amaliyah pada hari ini’, tanpa menyebut lokasinya dan jam berapa,” jelas Dedi.
Baca juga: 10-14 Oktober 2019, Densus 88 Tangkap 22 Terduga Teroris di 8 Provinsi
Dalam upaya pemberantasan teroris empat hari terakhir, Densus 88 Antiteror Polri bergerak secara masif ke 8 provinsi, yaitu Banten, Jawa Barat (Jabar), Bali, Jambi, Jakarta, Sulawesi Tengah (Sulteng), Sulawesi Utara (Sulut), dan Lampung.
“Dari Densus masih ada di lapangan. Selain mengembangkan kasus, Densus juga melakukan langkah-langkah mitigasi maksimal supaya kelompok teroris tersebut tidak berhasil melakukan amaliyahnya,” ujar Dedi sebelumnya.
Kelompok JAD terus diungkap Densus 88 Antiteror. Rangkaian panjang penangkapan dilakukan sejak Maret 2019. Polisi menyebut jaringan JAD ini punya afiliasi dengan kelompok teroris ISIS.