Jakarta – Ruang publik dalam dua tahun terakhir semakin banyak dipenuhi dengan permainan politik identitas yang mengumbar kebanggaan primordial. Lambat tapi pasti suasana ini membawa sesuatu yang tidak produktif dalam pergaulan bermasyarakat dan bernegara.
Karena itulah, tantangan bangsa saat ini dihadapkan pada upaya melawan kristalisasi kebangaan identitas primordial yang dapat menggoyahkan kebanggaan nasionalisme. Dalam konteks inilah, bangsa ini butuh sosok pahlawan-pahlawan baru yang dapat melawan kerasnya politik identitas yang dapat merusak perdamaian bangsa.
“Awal kesepakatan kita berbangsa bernegara ini kan jelas, yaitu Pancasila itu modal sosial kita yang terbesar. Secara historis, bangsa ini memang sudah luar biasa pluralnya, bangsa kita terdiri dari berbagai macam suku dan budaya. Dengan begitu artinya tugas Pancasila itu menjaga semua kemungkinan-kemungkinan dari SARA yang disebut identitas primordial itu. Karena hal itu merupakan ancaman semua untuk kesatuan republik Indonesia,” ujar Guru Besar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si di Jakarta, Jumat (8/11/2019).
Oleh karena itu Hamdi mengatakan sudah seharusnya Pancasila sebagai ideologi bangsa ini bisa menjaga makna persatuan yang sebenarnya. Sebab, ketika suku, agama dan ras itu dibawa ke politik maka kemudian akan menjadi politik Indonesia yang dapat membuat perpecahan.
“Politik harus terbebas dari isu SARA. Harus diarahkan ke toleransi yang dapat menerima budaya yang berbeda-beda, sehingga terciptalah apa yang dinamakan multi kulturalisme itu. Kita kelola segala perbedaan itu untuk menguatkan persatuan, Jangan malah itu dijadikan alat untuk berpolitik, bisa konflik nantinya bangsa ini,” tutur Hamdi.
Pria yang juga merupakan Koordinator Program Master dan Doktoral di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini mengungkapkan bahwa seharusnya masyarakat Indonesia saat ini dapat mencontoh para pendiri bangsa di masa lalu. Karena dengan persatuan yang dimulai dari kebangkitan nasional yang lalu kemudian dilanjutkan dengan sumpah pemuda itulah bangsa ini akhirnya bisa merdeka.
“Salah satu contoh di masa lalu itu, Muhammad Natsir itu aspirasi politiknya adalah Masyumi partai Islam, tetapi kemudian dia bisa bersahabat dengan orang-orang dari partai Katolik. Nggak ada itu sedikit-sedikit mengkafir-kafirkan. Karena ketika seseorang sudah menjadi tokoh bangsa sudah mengemban jabatan jabatan publik, memang dia tidak lagi jadi wakil satu golongan tetapi dia sudah wakil dari semuanya,” kata pria yang juga mantan anggota Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Koropsi (Pansel Capim KPK) tersebut.
Pria kelahiran Padang Panjang, 31 Maret 1966 itu juga mengaku setuju dengan pernyataan dari Menteri Agama, Fachrul Razi, yang menyatakan bahwa dia bukanlah menteri dari satu agaman, melainkan menteri dari seluruh agama yang ada di Indonesia.
“Seperti apa yang disampaikan Menteri Agama itu benar. Menteri Agama itu ya buat semua agama. Jadi beliau akan memperlakukan terhadap semua agama itu sama. Sama juga dengan misalnya Menteri Dalam Negeri, Menteri Dalam Negeri bukan cuma menteri Indonesia bagian Sumatera Utara atau bagian Jawa saja tetapi menteri untuk semua wilayah yang ada di Indonesia,” ujarnya.
Karena itu lanjut Hamdi, masyarakat juga jangan hanya terkungkung dengan kebanggaan identitas primordial atau kesukuannya semata, tetapi harus bangga akan nasionalismenya.
“Masyarakat harus diingatkan lagi dengan sejarah pembentukan republik ini, bahwa kemerdekaan kita adalah gotong royong semua agama dan suku bahu-membahu, nggak ada yang lebih tinggi dari yang lain. Cuma memang karena sejarahnya penduduk Islam yang paling banyak jadi ya dia paling banyak dari perjuangan. Tapi bukan berarti yang mayoritas Islam lalu dikatakan kami menanam modal paling banyak, tidak begitu. Karena kita berjuangnya sama-sama kok bukan Islam saja,” ungkapnya.
Pria yang juga anggota kelompok ahli bidang Psikologi di Badan Penanggulangan Terorisme Indonesia (BNPT) ini mengatakan bahwa masyarakat harus dapat untuk mencotoh sikap dari para negarawan hari ini. Karenanya para pejabat publik dan juga negarawan itu harus bisa menjadi contoh yang baik bagi masyarakat.
“Misalnya orang-orang yang bekerja di sektor publik ini kan punya potensi jadi negarawan. Presiden, Menteri termasuk juga anggota DPR, dia kan sebenernya termasuk orang yang mengurus negara. Jangan kemudian mereka-mereka ini hanya mementingkan kelompoknya saja atau partainya saja. Seperti contoh alm. Pak Habibie itu negarawan yang punya jasa mengurusi Republik ini ketika dalam keadaan transisi dulu genting. Atau seperti Buya Syafii Maarif yang juga bisa jadi panutan dari semua kalangan,” tuturnya
Untuk itu Kepala Laboratorium Psikologi Politik Universita Indonesia ini pun berharap kepada para generasi muda bangsa agar dapat menjadi pahlawan perdamaian yang baru. Karena dengan semakin berkembangnya teknologi jangan sampai generasi muda ini melupakan sejarah bangsanya.
“Hayati bahwa Indonesia ini atas dasar semangat gotong royong semua agama, semua golongan. Karena dunia sudah mengglobal, atau istilahnya sekarang borderless, masa anda anak muda masih ngomongnya terkotak-kotak, harus sering bergaul dengan banyak orang,” ujarnya mengakhiri