Jakarta – Bagi para pendamping sasaran radikalisme yang tergabung dalam Kelompok Kerja (Pokja) di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Lampung, yang dibentuk oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), penting untuk mengetahui pendampingan akan dilakukan terhadap siapa, dari kelompok mana, dia berbuat apa, dan bagaimana profiling-nya. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Indesos Densus 88 Kombes (Pol) H. Djoni Djuhana, S.IK., M.Si, pada hari ketiga kegiatan Rapat Koordinasi Pembentukan Kelompok Kerja Pendamping Sasaran Deradikalisasi Wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Lampung di Jakarta, Kamis (14/3/2019).
“Ketika dia seorang ideolog, dia seorang ustadz, dia sanggup membuat bom, dia sangat ditokohkan, maka masuk kategori merah. Kategori kuning untuk dia yang militan, tetapi tidak bertindak sebagai ustadz, dia tidak punya kemampuan untuk mempengaruhi. Sedangkan kategori yang hijau, dia benar-benar yang tidak tahu apa-apa ini pak,” jelas Djoni .
Oleh karena itu, lanjut Djoni, ketika ada narapidana terorisme (napiter) yang akan dibebaskan dan akan dilakukan pendampingan oleh instansi terkait melalui Pokja ini, BNPT juga wajib menyerahkan profiling tentang sasaran deradikalisasi yang akan didampingi.
Strategi Pelaksanaan Identifikasi dan Pembinaan Kemandirian kepada Sasaran Deradikalisasi ini kemudian dilanjutkan oleh Prof. Dr. Ahmad Syafii Mufid, M.A. Selain mempelajari sejarah perkembangan aksi terorisme itu sendiri, Direktur Indonesia Institute for Society Empowerment (INSEF) ini menyampaikan pengalamannya terkait etika pendampingan yang efektif diterapkan ketika Pokja ini nanti berhadapan dengan mantan napiter.
“Cara masuk pendekatan dengan mereka itu ada etika pendampingannya. Awalnya itu lebih baik dengarkan dulu dia. Jadilah kita itu sahabatnya. Posisikan diri, tergantung pada usia orang yang kita dampingi, bisa jadi mereka itu kita anggap seperti anak-anak kita. Nah, kalau kita sudah diterima, kalau kita dianggap sudah bisa mengayomi, kita baru bisa menjadi guru. Jangan datang-datang diceramahi, jangan datang-datang jadi guru,” ujarnya.
Sejalan dengan hal tersebut, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Dr. Dra. Sri Puguh Budi Utami, Bc.IP., M.Si, menjelaskan pentingnya memposisikan mantan napiter tidak hanya sebagai obyek, tetapi juga sebagai subyek.
“Hal ini yang harus dipahami dengan baik, ketika kami melakukan pembinaan ini, individualisasi, treatment-nya beda antara satu dengan yang lain, sesuai dengan hasil profiling. Tetapi akan menjadi masalah juga kalau didiskriminasi. Sehingga hal ini harus dipahami betul oleh pendamping sasaran radikalisme.” jelasnya.
Terlepas dari hal tersebut, Kementerian Hukum dan HAM telah menerapkan dua kategori pembinaan untuk tahanan dengan kategori super maximum security, yaitu tahanan terorisme dan bandar/pengedar narkoba. Pertama adalah pembinaan intramural yang melalui tahap pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian, seperti pelatihan kerja, keterampilan, serta pelatihan kewirausahaan.
“Khusus untuk narapidana terorisme, dilakukan pembinaan kemasyarakatan yang bertujuan agar bekas narapidana mudah diterima kembali oleh masyarakat lingkungannya. Sebagai contoh mereka dibina untuk patuh beribadah dan dapat melakukan usaha-usaha sosial secara gotong royong, sehingga waktu mereka kembali ke masyarakat, mereka telah memiliki sifat-sifat positif untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan lingkungan masyarakatnya,” ujar wanita yang didaulat sebagai perempuan pertama yang menjabat Dirjen Pemasyarakatan ini.
Dalam pembinaan kemandirian, narapidana dilatih untuk melakukan kegiatan yang mengedepankan keterampilan untuk menghasilkan barang dan jasa, seperti untuk napiter yang diberikan keterampilan kaligrafi atau membatik. Sedangkan untuk pembinaan ekstramural dapat berupa asimilasi, pembebasan atau cuti bersyarat, dan remisi.
Terkait pembinaan kemandirian dan keterampilan, Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial (PSKBS) Kementerian Sosial RI, Nurul Farijati menjelaskan bantuan-bantuan yang diberikan Kementerian Sosial kepada eks terorisme dapat berupa penambahan modal usaha, budidaya hewan ternak, maupun bantuan untuk membuka usaha baru.
Bantuan tersebut diserahkan kepada eks terorisme berdasarkan data yang telah diverifikasi oleh Kementerian Sosial, BNPT, Dinas Sosial Provinsi/Kabupaten/Kota, dan BAPAS, serta telah ditetapkan melalui SK Direktur PSKBS. Hal ini diharapkan dapat menjadi contoh kesinambungan antar instansi dalam melakukan program deradikalisasi melalui Pokja yang akan mendampingi napiter di masing-masing wilayah yang lebih spesifik.