Pindapata Tak Sekadar Tradisi Keagamaan, Tapi Ajakarn Hidup Harmonis dan Empati

Jakarta — Pindapata bukan hanya sebuah tradisi keagamaan, tapi
perwujudan nyata dari kesederhanaan, kepedulian, dan kebajikan. Ini
mengajarkan kita untuk hidup harmonis dan penuh empati,”

Hal itu dikatakan Menteri Agama (Menag) Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar,
MA, pada peringatan Pindapata Nasional Kemawaisak 2569 BE / 2025 yang
diselenggarakan oleh Permabudi bersama Sangha Theravada Indonesia di
Jakarta, Minggu (3/5/2025). Acara itu berlangsung dalam suasana penuh
khidmat dan harmoni di tengah alam terbuka,

Acara yang dihadiri oleh Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, para
tokoh lintas agama, serta pemuka umat Buddha.

“ Perayaan Prindapat ini menjadi momentum reflektif akan nilai-nilai
luhur ajaran Buddha yang selaras dengan prinsip moderasi beragama yang
diusung Kementerian Agama,” ujar Menag.

Ia menekankan bahwa kegiatan keagamaan di alam terbuka mengingatkan
pada tradisi leluhur, di mana alam tidak hanya menjadi latar, tetapi
sahabat yang memberi energi lahir dan batin. Oleh karena itu, ajaran
Buddha yang menjunjung persahabatan dengan alam menjadi penting di
tengah krisis ekologis global.

Dalam pidatonya, Menteri Agama juga menyampaikan ajakan kepada umat
Buddha untuk terus meneladani kehidupan Siddharta Gautama yang
meninggalkan kemewahan demi pencarian spiritual.

“Kebesaran seseorang tidak ditentukan dari berapa lama ia hidup dalam
kejayaan, tapi seberapa lama ia menempuh jalan perjuangan spiritual
yang membentuk pribadi tangguh dan mulia seperti Siddharta Gautama,”
ucapnya.

Ia juga mengapresiasi sikap inklusif umat Buddha yang tidak
membeda-bedakan agama lain, serta falsafah “Engkau adalah aku, aku
adalah engkau” yang sarat makna kemanusiaan dan welas asih.

Menteri Agama berpesan bahwa Hari Raya Waisak harus dimaknai sebagai
momentum untuk meneladani kehidupan Buddha dalam keseharian,
memperkuat moderasi beragama, menjaga lingkungan dan kelestarian alam,
berperan aktif membangun peradaban yang bermoral dan beretika,
menghadapi era digital dengan bijak dan penuh kesadaran.

“Para biksu yang hadir hari ini adalah contoh orang-orang yang
mewakafkan hidupnya demi kemanusiaan, bukan karena tak mampu menjadi
pejabat atau orang kaya, tapi karena memilih jalan pengabdian,”
pungkasnya.

Menteri Agama mengajak seluruh elemen masyarakat untuk “menjadi pucuk
yang mencium akar” sebuah filosofi untuk selalu ingat asal, rendah
hati, dan tidak lupa diri dalam menjalani hidup.