Jakarta – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak telah berhasil digelar di 171 daerah dengan lancar dan aman. Nama-nama calon kepala daerah baru pun telah mengemuka, meski dinamika paska Pilkada serentak tetap terjadi di beberapa daerah. Sukses Pilkada serentak 2018 ini merupakan keberhasilan demokrasi di Indonesia dan berkat kecerdasan seluruh masyarakat dalam mengamalkan nilai-nilai luhur bangsa.
“Ini sangat membanggakan. Pertama suksesnya Pilkada serentak 2018 ini merupakan kemenangan akan kepentingan bangsa diatas kepentingan golongan, juga secara moral adalah buah dari keikhlasan semua pihak sebagai bangsa Indonesia yang cinta damai dan menjunjung tinggi persatuan,” kata Staf Ahli Menko Polhukam DR. Sri Yunanto di Jakarta, Jumat (29/6/2018).
Dengan keberhasilan Pilkada serentak ini, Sri Yunanto meminta bagi kelompok yang calonnya menang tidak usah jemawa karena Pilkada ini adalah awal dari pengabdian politik. Begitu juga yang kalah, harus ikhlas dan tidak usah berkecil hati karena kedepan mereka tidak berurusan dengan orang, tapi dengan kinerja pemimpin daerah masing-masing. Kalaupun ada masalah yang tidak wajar atau bahkan melanggar hukum, harus diselesaikan melalui jalur hukum.
“Jangan menggunakan fisik, apalagi kekerasan, karena itu akan merusak demokrasi dan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa yang selama ini sudah kita bangun,” imbuh Sri Yunanto.
Keberhasilan Pilkada serentak 2018 ini, lanjut pria yang juga pengamat politik islam ini, menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia mampu menjalani proses demokrasi yang sehat, kompetetif, dan nantinya akan memuaskan. Namun demikian, ini juga tidak menjamin pesta-pesta demokrasi berikutnya bebas dari masalah. Kampanye hitam, hoax, hate speech (ujaran kebencian), radikalisme dan terorisme, menjadi hal yang harus cegah di setiap proses demokrasi.
Ia mengakui, pelaksanaan Pilkada maupun Pilpres sangat resisten dengan masalah sosial dan politik. Pertama persoalan terorisme, bahwa demokrasi menjadi pilihan rakyat Indonesia. Dengan segala plus dan minusnya, demokrasi menjadi sistem atau mekanisme dimana rakyat menyalurkan suara dan kepentingannya, mempercaya politisi untuk memperjuangkan kepentingannya. Tapi biasanya demokrasi itu ditentang kelompok radikal.
Sebenarnya, lanjut Sri Yunanto, dalam analoginya, demokrasi itu sama dengan sepakbola. Kadang menang, kadang kalah, dan itu menjadi hal yang wajar. Jadi siapa pun yang masuk kontestasi demokrasi, apakah itu politisi atau masyarakat umum, harus siap menang dan siap kalah, dan harus ikhlas.
“Sebagaimana Piala Dunia, ada yang lolos ada yang pulang lebih dulu. Itu harus diterima. Jadi demokrasi itu tidak hanya berhenti di Pemilu, maka nanti para pendukung calon kepala daerah yang kalah, harus bisa menggeser pemikirannya, bukan lagi siapa yang kita dukung, tapi agenda apa yang yang kita perjuangkan,” terang Sri Yunanto.
Yunanto menilai, sukses Pilkada serentak ini menjadi bukti demokrasi di Indonesia sudah berada di relnya. Ini juga membuktikan bahwa bangsa Indonesia sangat adaptif mengikuti realitas dan perkembangan zaman. Hal itu dilihat dari sistem Pemilu mulai dari zaman setelah Kemerdekaan, orde baru, dan sekarang. Saat orde baru rakyat tidak bisa memilih pemimpin secara langsung, anggota legislatif juga diangkat. Sejak reformasi sistem itu diubah, dan mulai 2004, digelar Pemilu langsung, bahkan 2018 ini dilakukan Pilkada serentak.
Menurut Yunanto, demokrasi, kebebasan memilih informasi, media, telah mendidik bangsa Indonesia menjadi cerdas dan jauh dari apa yang diperkirakan orang. Memang demokrasi yang telah dijalankan belum sempurna, tapi ini sudah sangat bagus. Ia pun mengakui masih ada kelompok yang ingin memprioritaskan golongannya diatas kepentingan bangsa. Juga masih ada yang ‘menyerang’ demokrasi dengan mengatakan bahwa demokrasi tidak sesuai ajaran agama.
“Memang demokrasi tidak selevel dengan agama. Demokrasi ini soal muamalah. Jadi sangat jelas, konsep demokrasi dan agama itu tidak sama,” tegas Sri Yunanto.