Pilkada Rentan Disusupi Ancaman Radikalisme

Jakarta – Tahun 2018 menjadi titik dimulainya tahun politik di Indonesia. Pada tahun ini akan berlangsung Pilkada secara serentak di 17 Provinsi, 39 Kabupaten, dan 115 kota.

Pilkada sangat rentan terhadap gesekan antar pendukung calon kepala daerah maupun antar pengurus partai yang menjadi pengusung calon kepala daerah. Berbagai gesekan dan benturan yang disebabkan oleh perbedaan pilihan dalam Pilkada harus diantisipasi secara dini oleh pemerintah. Begitu pula calon kepala daerah harus hati-hati dalam mengeluarkan statemen terlebih untuk tidak menggunakan sentimen SARA, karena akan sangat rentan digunakan oleh kelompok radikal dan teroris dalam membuat kekacauan.

Dikutip dari www.jppn.com pada Selasa, (2/18), menurut pakar hukum Suhardi Somomoeljo mewujudkan Indonesia tanpa radikalisme dan terorisme pada 2018 memerlukan usaha keras. Bukan tidak mungkin pilkada akan dimanfaatkan kelompok tertentu untuk melakukan tindakan radikalisme dan terorisme.

“Harapan saya dalam pelaksanaan pilkada serentak pemerintah harus benar-benar fleksibel dalam menerapkan segala kebijakan. Salah satunya penegakan hukum,” ujar Suhardi.

Menurut dia, penegakan hukum harus lebih mengedepankan model pendekatan responsif ketimbang refresif.
Lebih lanjut Suhardi menekankan agar para politisi menjaga diri dalam berkampanye, tidak menggunakan isu-isu SARA yang dapat mengakibatkan perpecahan antar pendukung.

“Bila itu terjadi, maka kemungkinan ‘perang’ antarpendukung akan sulit dihindari. Otomatis radikalisme pasti akan mengekor kejadian-kejadian tersebut. Makanya, semua harus diantisipasi dengan strategi-strategi yang berpihak pada perdamaian,” imbuh Suhardi.
Suhardi mengungkapkan, pilkada serentak merupakan political will dari suatu negara sebagai perwujudan dari demokrasi