Jakarta – Masyarakat Indonesia, khususnya umat Kristen diminta menjauhi cara beragama yang ekstrem. Hal itu untuk mencegah kemungkinan paparan virus radikalisme dan terorisme.
“Imbauan saya, pertama-tama kita jauhi cara beragama yang ekstrem, baik kiri maupun kanan. Kita awali dengan pendekatan teks kitab suci dan tradisi seturut dengan konteksnya, baik konteks ketika teks dan tradisi itu dituliskan maupun konteks saat kita membacanya,” ujar Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom dikutip dari Republika.co.id, Minggu (11/12/2022).
Gomar menambahkan bahwa dengan pendekatan seperti itu, umat beragama akan menemukan intisari dari teks dan tradisi itu, yakni kedamaian, kepedulian, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan nilai-nilai universal lainnya. Selain itu, dia juga mengimbau kepada umat beragama untuk mengembangkan paradigma berpikir bahwa agama apapun yang dianutnya dan dianut orang lain pastilah tujuannya juga untuk menggapai nilai-nilai universal di atas.
Menurut dia, harus ada kesadaran bahwa cara beragama seseorang bisa saja belum sempurna dan karenanya dalam perjumpaan dengan cara orang lain beragama, bisa terjadi proses interpenetrasi yang saling menyempurnakan.
“Oleh karenanya dibutuhkan perjumpaan-perjumpaan dengan mereka yang memiliki cara pandang berbeda. Di sini pentingnya dialog,” ucap Gomar.
Menurutnya, untuk mengatasi masalah radikalisme dan terorisme, para pemimpin agama juga harus berperan mendidik warganya untuk beragama lebih cerdas, dengan menukik pada substansi ajaran agama dan nilai-nilai universal itu ketimbang melulu beragama secara formal dan dogmatis.
Selain itu, negara dan agama-agama harus hadir dalam semua lini kehidupan. Karena, ketidakadilan dan kemiskinan adalah lahan subur untuk ekstremisme dan radikalisme.
“Semua harus bahu membahu mengatasinya. Dialog antar umat bagama atau kepercayaan akan kehilangan kredibilitasnya jika mengabaikan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, ketidak-adilan, kerusakan lingkungan dan lain-lain,” kata Gomar.
Dia menambahkan, negara juga harus sungguh-sungguh hadir manakala ada seseorang atau kelompok yang melakukan segala bentuk gangguan keamanan dan ketertiban, apapun alasannya, termasuk dengan membawa-bawa agama dalam aksinya.
“Aksi-aksi seperti ini, sekecil apapun, harus segera ditindak oleh negara. Pembiaran hanya akan mempersubur aksi-aksi sejenis yang lebih besar lagi,” jelas Gomar.