Jakarta – Pemuka atau tokoh agama adalah seorang yang secara emosional sangat dekat dengan masyarakat. Petuah dan fatwa tokoh agama sangat efektif dan mudah membuat masyarakat mematuhi protokol kesehatan (Prokes), terutama dalam menyikapi pandemi Covid-19 yang tengah mengganas akhir-akhir ini.
Pendakwah dan Penulis Muda Indonesia, Habib Husein Ja’far Al Hadar, S.Fil.I, M.Ag, mengatakan bahwa tokoh agama bisa memberikan nasihat melalui majelis-majelis yang mereka bina, atau bahkan sampai dalam bentuk fatwa.
”Dalam Islam hifdzul aql menjaga nyawa, menjaga kesehatan itu menjadi salah satu dari tujuan agama Islam itu sendiri. Alquran juga menegaskan kita untuk menjaga nyawa kita dan nyawa orang lain,” ujar Habib Husein Ja’far di Jakarta, Jumat (2/7/2021).
Ia menuturkan bahwa tokoh agama dapat berperan dalam melakukan imbauan, khususnya yang berbasis kepada nilai-nilai agama. Jadi imbauan menggunakan kutipan Alquran maupun hadis bahwa menjaga diri adalah pesan utama dalam agama khususnya agama Islam.
”Sehingga orang yang cenderung patuh pada imbauan-imbauan yang berbasis kepada spiritualitas seperti itu akan patuh kepada mereka (pemuka agama). Karena ada segmen masyarakat yang patuhnya kepada himbauan-himbauan yang bersifat religiusitas ini,” tukasnya.
Lebih lanjut menurutnya, ulama juga bisa mendorong masyarakat untuk saling bersolidaritas bersama melawan covid-19 ini. Solidaritas yang dimaksud adalah khususnya dalam segi saling tolong menolong satu sama lain. Ia mengungkapkan bahwa ini juga telah dilakukan oleh berbagai organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).
”Mungkin memang sekarang waktunya untuk kembali digalakkan lagi imbauan itu, karena kita kan sedang menghadapi arus besar pandemi ke-2. Dan kecenderungan masyarakat sudah makin rendah kesadarannya dalam perang melawan Covid ini,” jelasnya.
Habib Ja’far menambahkan bahwa, imbuan bisa juga dengan menggunakan fatwa sifatnya lebih mengikat. Menurutnya, bisa dibuat fatwa-fatwa yang mendukung Prokes, misalnya wajib memakai masker dan haram membuka masker di tempat umum. Wajib tidak berkerumun dan haram membuat kegiatan-kegiatan yang berkerumun.
”Paling penting adalah keteladanan, tokoh agama harus memberikan keteladanan, misalnya dengan mereka tidak menyelenggarakan acara-acara yang sifatnya kerumunan. Kemudian mengimbau masyarakat untuk tidak melakukan acara-acara yang sifatnya kerumunan, seperti haul atau perayaan Idul Adha dan lain sebagainya,” terangnya.
Ia menyebut ada rukhsah atau keringanan dalam salat yaitu boleh meninggalkan syariat seperti salat Jumat, mengganti dengan salat zuhur kalau dengan salat Jumat itu membahayakan nyawa manusia. Dalam Alquran jugadisebutkan ‘siapa bahwa yang menjaga satu nyawa, ia seperti menjaga seluruh umat manusia’.
”Sejauh ini saya melihat kontribusi edukasi itu sudah cukup besar dilakukan oleh tokoh-tokoh agama, misalnya mengenai salat jumat, baik Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun NU dan Muhammadiyah telah memustukan bahwa kalau di zona merah memang diperbolehkan untuk tidak salat Jumat dan bahkan dianjurkan untuk tidak salat Jumat,” tukasnya.
Selain itu, pria kelahiran Bondowoso, 21 Juni 1988 ini juga menyampaikan bahwa memang saat ini ada ketidakpercayaan di masyarakat. Hal itu disebabkan oleh banyaknya hoaks yang mengganggu kepercayaan masyarakat khusunya terhadap vaksin. Selain itu juga ketidakpercayaan kepada oknum-oknum pemerintah karena masyarakat melihat tampak tidak ada keseriusan dari pemerintah. Kemudian ada ketimpangan juga, ketidakadilan dalam penerapan Prokes tersebut.
”Banyak hoaks yang mengatakan jika di vaksin katanya akan sakit, kalau di vaksin katanya akan bisa dilacak dan lain sebagainya. Kemudian ada juga anggapan bahwa vaksin ini menyebabkan orang kemudian akan imun sehingga tidak akan kena (virus). Padahal vaksin kan fungsinya menambah kekebalan tubuh ketika kena virus. Maka cara mengatasinya adalah dengan edukasi,” jelasnya.
Menurutnya, harus ada edukasi hingga ke akar rumput, kemudian juga harus berbasis kepada komunikasi yang sifatnya kultral. Ia mencontohkan seperti ke orang madura, itu pakai bahasa Madura, ke orang Jawa pakai bahasa Jawa. Agar lebih mudah dipahami dan lebih mudah dipercaya.
”Komunikasi kultural itu tidak hanya secara bahasa, tetapi juga secara kebudayaan sesuai dengan kecenderungan kebudayaan masing-masing. Tidak bisa menggunakan edukasi yang masih umum seperti yang selama ini dilakukan,” pungkasnya.