Peta ISIS Pasca Mosul: Dari Timur Tengah Ke Asia Tenggara

Dalam kurun waktu pertengahan 2014 hingga awal 2016 masyarakat global sempat tersentak dengan hadirnya kelompok terorisme baru dari Timur Tengah. Kelompok yang mengklaim Islamic State (IS) atau di media barat disebut dengan Islamis State of Iraq and Syria (ISIS) tampil memukau di tengah redupnya jaringan al-Qaeda secara global. Berbagai pemberitaan mengulas sepak terjang ISIS yang hampir menguasai dua negara Irak dan suriah. Propaganda yang mereka lancarkan sungguh dahsyat dengan menguasai teritori dunia maya dengan berbagai video dan gambar sadis yang menunjukkan kekuatan eksitesni mereka.

Ibarat oase di padang tandus, kelompok radikal dari berbagai negara meskipun ada pula yang tidak setuju memanfaatkan hadirnya ISIS sebagai negara idaman yang telah dijanjikan. Dengan modal penguasaan teritori di Suriah, pendanaan mandiri, dan pasukan yang terlatih, ISIS memukau banyak kelompok radikal di berbagai negara untuk bergabung menikmati euphoria lahirnya khalifah Islamiyah yang diidam-idamkan. Praktis ISIS banyak mendapatkan sumbangan tenaga Foreign Terrorist Fighters (FTF) yang berasal dari berbagai negara termasuk dari Indonesia.

Pertanyaannya kemana pemberitaan kegagahan dan kepongahan ISIS? ISIS sudah lama tidak menyiarkan kemenangan mereka dan lama absen dalam berbagai pemberitaan internasional, kecuali hanya klaim-klaim mereka terhadap berbagai aksi mandiri yang dilakukan oleh simpatisannya di berbagai negara. Apakah dinasti ISIS telah runtuh? Apakah Pimpinan mereka, Abu Bakar al-Bagdady sudah putus asa?

Untuk mengatakan ISIS telah runtuh tentu bukan istilah yang tepat. Pastinya kekuatan ISIS secara global telah melemah. Hal ini tidak bisa dilepaskan oleh berbagai kekalahan ISIS dalam mempertahankan teritori yang sempat mereka rebut di Timur Tengah. Banyak daerah dan kota penting yang lepas dari penguasaan ISIS seperti hilangnya kekuasaan mereka di Tikrit (Maret 2015), Plmyra (Mei 2015 ), kota Sinjar (November 2015), Ramadi (Desember 2015), di kota selatan Mosul (Maret 2016), Tal-Abyad (Juni 2016), dan kota Sharqat (September 2016). Mosul menjadi kota terakhir yang lepas dari gengaman ISIS.

Membangun Kawasan Aman di Filipina Selatan

Atas berbagai kekalahan di Timur Tengah, tepatnya Irak dan Suriah, ISIS telah menunjuk Filipina tepatnya pulau Mindanao sebagai Provinsi ISIS jauh yang mereka sebut sebagai walayat Filipina. Kabar ini sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. ISIS telah mempunyai skenario dari awal apabila ISIS mengalami kekalahan di Irak-Suriah, gerakan ini akan berpindah ke Afganistan, yaitu sepanjang perbatasan Tajikistan, Uzbekistan dan Turkinistan. Jika hal itu tidak memungkinkan, kawasan Asia Tenggara akan menjadi pilihan. Filipina akan menjadi target potensial pertama mengingat di sana ada gerakan separatisme lokal yang telah menjadi basis perjuangan teroris global.

Penunjukan Filipina sebagai Walayat Filipina merupakan pintu awal perubahan konsentrasi mereka dari Timur Tengah ke Asia Tenggara. Pimpinan Walayat telah diumumkan lewat kantor berita ISIS, An-Naba atas nama Isnilon Totoni Hapilon atau Sheikh Mujahid Abu Abdullah Al Filipini. Hapilon sendiri sudah tidak asing dalam gerakan di Filipina. Ia merupakan pemimpin kelompok Abu Sayyaf (ASG) di Basilan, sebuah pulau sekaligus provinsi dekat Mindanao.

Dalam struktur walayat ini mereka mempunyai Dewan Perwakilan sebagai sarana komunikasi yang bernama Akhlus Shura. Tidak hanya itu mereka sudah mempunyai empat (4) pasukan tempur yang berada di bawah kendali. 1) Anshar al Syariah pimpinan Abu Anas Al Muhajir warga negara Malaysia. 2) Ma’rakah Al Ansar pimpinan Abu Amar warga Negara Malaysia, Sabah keturunan Filipina. 3) Anshar Khilafah Philippines pimpinan Abu Sharifah berasal dari Tagalog. Terkahir 4) Al Kharakatul Al Islamiya yang rencananya akan diisi oleh warga negara Indonesia.  ISIS telah mengumumkan pada Januari 2016 bahwa keempat batalyon tersebut telah bersatu dan menyerukan kesetiaan kepada al-Baghdadi. Pemimpin Ansar al-Shariah, Abu Anas al-Mujahir, menjadi wakil batalyon-batalyon tersebut ketika mereka melakukan baiat (sumpah setia) bagi khilafah ISIS.

Selain 4 kelompok tersebut, ada kelompok lainnya yang sudah mempunyai track record handal dalam kegiatan terorisme. Kelompok ini disebut kelompok Maute yang mempunyai basis wilayah ARMM (Autonomous Region of Moslem Mindanao). Maute merupakan pecahan dari BIFF ( Bangsa Moro Islamic Freedom Fighters) yang sebelumnya tergabung dalam MILF (Moro Islamic Liberation Front). Sepak terjang kelompok pimpinan Abdullah Maute ini sudah tidak diragukan. Pada tanggal 2 September 16 kelompok ini menyerang Davao city yang menyebabkan 70 orang tewas dan  15 orang mengalami luka-luka. Sebelumnya pada 28 Agustus 2016 kelompok ini juga menyerbu penjara Lanoa De Sur dan berhasil membebaskan 8 tahanan dan langsung berbaiat kepada al-Baghdadi.

Pemerintah Filipina memang telah mengalami kemajuan dengan melibatkan MILF dalam proses perdamaian. Namun, pemerintah setempat belum mampu menemukan strategi tepat untuk melumpuhkan ASG dan beberapa kelompok kecil yang terus melawan negara tersebut. Bersatunya kelompok kecil dalam satu gerakan di bawah Cabang ISIS tentu saja merupakan tantangan baru. Apalagi Filipina pernah mengalami kekalahan ketika menyerbu kelompok ASG yang telah menewaskan 12 tentara pasukan elit pemerintah.

Prediksi Ancaman terhadap Indonesia

Bersatunya kelompok-kelompok kecil di bawah bendara Walayat ISIS di Filipina Selatan merupakan ancaman besar tidak hanya bagi negara Filipina tetapi juga kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. ISIS akan menggunakan walayat ini sebagai basis di Asia Tenggara untuk mengumpulkan sel-sel kelompok radikal di beberapa negara kawasan untuk berkumpul dan melakukan pelatihan. Markas baru ini akan menjadi pusat pusat kekuatan, pelatihan dan tempat perencanaan operasi di kawasan. Tidak hanya itu bukan tidak mungkin ISIS akan mendeklarasikan Mindanao sebagai negara baru mereka di Asia Tengagra dan akan menarik simpatisan tidak hanya dari kawasan tetapi juga orang dari Uighur.

Indonesia dalam peta jaringan terorisme global sangat dekat dengan Filipina. Sejak tahun 1994, ketika Jamaah Islamiyah (JI) mendirikan Hudaibiyah yang dijadikan pelatihan pertama yang telah menjamin berbagai kelompok radikal dari berbagai negara seperti Malaysia, Singapura, Arab dan Muslim dari Thailand termasuk dari Indonesia. Beberapa alumni pelatihan dari Filipina telah terbukti menjadi bagian penting dalam berbagai aksi terorisme di Indonesia pasca reformasi. Tidak hanya itu, Filipina merupakan jaringan pasokan senjata melalui Sulawesi Utara yang menjadi amunisi penting kelompok Santoso di Poso.

ISIS Indonesia juga tidak boleh dipandang sebelah mata. Jaringan kekuatan yang terhimpun dalam Katibah Nusantara Syria yang terdiri dari anak-anak muda dari Indonesia seperti Bahrumsyah, Bahrun Naim dan Abu Jandal. Untuk Abu Jandal telah tewas dan digantikan oleh Fais alias Muhammad Saefuddin yang dikenal Abu Walid, 34 tahun, asal Kompak Solo. Abu Walid memiliki kembaran yang tewas dalam peristiwa di Ambon 2001. Ia pernah dipenjara 9 tahun di Filipina dan pada tahun 2014 dideportasi ke Indonesia. Di Indonesia ia sempat menikah dengan adik Budi alias Urwah dan langsung berangkat ke Suriah.

ISIS di Indonesia melalui jaringan Katibah Nusantara Syria maupun beberapa sel lokal yang ada di Indonesia masih perlu diwaspadai. Berdirinya walayat di Filipina tentu akan menjadi berita gembira bagi kelompok terorisme di Indonesia dan tantangan baru bagi Indonesia. Para FTF tidak perlu lagi menyeberang jauh ke Irak-Suriah dan lebih memilih bergabung untuk melakukan pelatihan dan perencanaan operasi di Mindanao. Walayat ini sepertinya akan mengulangi kesuksesan kamp Hudaibiyah JI di Mindanao yang berhasil mengumpulkan, melatih, membangun kekuatan dan merencanakan operasi di berbagai negara, termasuk di Indonesia.