Jakarta – Peraturan Presiden tentang tugas Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penanggulangan terorisme diibaratkan buah simalakama bagi TNI. Hal itu diutarakan oleh mantan Kepala BAIS TNI Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman Ponto dalam webinar yang digelar Imparsial menyoal pelibatan TNI dalam penanganan terorisme.
“Masalah rancangan Perpres tentang tugas TNI dalam atasi terorisme menurut saya itu bagaikan buah simalakama bagi TNI,” kata Ponto saat menyampaikan pemikirannya dalam diskusi Imparsial, Rabu (15/7/2020).
Menurutnya, TNI serba salah jika Perpres itu kemudian diundangkan dan menjadi aturan baku untuk TNI terlibat langsung dalam penanganan terorisme.
Ia mengatakan, jika perpres itu berisi tentang penegakan hukum, maka sistem tersebut bertentangan dengan keahlian TNI tugasnya menjaga kedaulatan negara.
“Itu bukan keahlian TNI. Itu keahlian Polri sehingga terjadi lagi tabrakan dengan Polri. TNI bukan ahli tenaga hukum, dikhawatirkan tidak akan peroleh penyelesaian hukum yang berlaku sehingga TNI akan tertuduh sebagai pelanggar HAM,” kata dia.
Ponto menuturkan pada dasarnya TNI bisa digunakan sebagai alat pemberantas terorisme. Hanya saja, pelibatan TNI menurutnya tak usah terpaku pada Perpres.
Ada beberapa syarat agar TNI bisa terlibat, salah satunya adalah teroris sebagai pemberontak bersenjata terpenuhi sebagai mana diatur oleh protokol tambahan hukum militer.
“Itu diatur kapan militer boleh turun, itu apabila persyaratan sebagai pemberontak terpenuhi. Apa itu, misal teroris sudah kuasai wilayah tertentu, teroris sudah dapat adakan serangan sewaktu-waktu, kemudian teroris itu sudah memiliki hierarki yang jelas dan pemimpinnya dapat mengontrol anggotanya,” kata Ponto.