Jakarta – Kehidupan masyarakat saat ini sudah semakin dimanjakan oleh berbagai layanan berbasis teknologi digital melalui perkembangan aplikasi mulai dari belanja, transportasi, pekerjaan dan lainnya. Perkembangan digital berbasis aplikasi pun mulai merambah dunia pendidikan melalui metode e-learning. Namun pengembangan digitalisasi pendidikan lagi-lagi terjatuh pada peningkatan kualitas IQ anak, bukan pada karakter anak.
Metode e-learning ini bahkan cenderung menggerus karakter anak karena tiadanya pertemuan langsung. Dunia digital bukan mendidik anak menjadi individualis, tidak mandiri, tidak jujur dan tidak respek terhadap perbedaan. Padahal di era digital ini pendidikan karakter juga sangat penting untuk memberikan dasar sikap dan mental anak dalam menggunakan teknologi digital.
Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho mengatakan bahwa dengan berkembangnya teknologi digital maka perlu adanya upaya untuk membentengi anak bangsa terhadap informasi yang dapat merusak karakter anak tersebut meski hal tersebut menurutnya tidaklah mudah. Namun hal tersebut harus dimulai dari lingkup keluarga terlebih dahulu, yang artinya peran dari orang tua harus dikembalikan lagi.
“Saat masuk ke era digital sekarang ini orang tua cenderung melepas anaknya di dunia digital. Mereka cenderung mengasih anaknya smartphone, Tablet atau mengoperasikan laptop komputer di rumah tanpa pengendalian dan pengawasan yang cukup dari orang tua. Ini sangat berbahaya sekali. Karena ada titik ketika nanti si anak merasa lebih percaya kepada informasi yang dia baca di internet daripada harus percaya dengan informasi dari guru atau orang tuanya,” ujar Septiaji Eko Nugroho di Jakarta, Sabtu (9/3/2019)..
Menurutnya, ketika anak memulai menggunakan teknologi, maka orang tua itu harus punya pemahaman yang kuat terkait bagaimana mendidik anak menggunakan teknologi digital dengan baik yang biasa disebut Digital Parenting. “Ini agar jangan sampai anak terpapar hal-hal yang bisa membahayakan dia secara keamanan atau mengunyah konten konten negatif seperti hate speech (ujaran kebencian) ataupun juga konten-konten yang terkait dengan radikalisme,” katanya.
Lalu setelah ini menurutnya akan naik ke tingkat yang lebih atas lagi, yakni lingkup masyarakat, yang tentunya juga membutuhkan gerakan masyarakat untuk membuat aktivitas offline. Ini supaya anak-anak kembali bertatap muka seperti zaman dulu, dimana jangan sampai mereka waktunya habis hanya bertemu dengan gadged-gadged saja.
“Di level-level masyarakat yang ada di perkampungan ataupun di kota anak-anak itu perlu dibuatkan dan diajak untuk melakukan aktivitas yang membuat mereka bisa berinteraksi secara nyata dengan anak-anak yang lainnya. Ini agar mereka tidak hidup dalam dunia sendiri di dunia digital,” ucapnya.
Untuk itu dirimya berharap ada peran dari pemerintah dalam mengelola ketika anak-anak itu di didik di lingkup sekolah dan di kampus dimana diperlukan materi terkait tentang literasi digital agar seorang anak atau siswa itu memiliki keahlian, kemampuan untuk bisa menggunakan berbagai perangkat teknologi digital dengan baik.
“Contoh seperti materi mengenai media sosial tentang bagaimana penggunaannya, apa bahayanya, apa yang seharusnya tidak dilakukan, termasuk sikap pengamanan supaya bagaimana informasi pribadi tidak diketahui orang lain, itu yang terkait dengan literasi digital,” ujarnya.
Selain itu perlu adanya materi tentang literadi media supaya anak dikenalkan mengenai bagaimana mengunyah informasi dari sumber-sumber yang ada, baik dari koran, majalah, media online ataupun dari media sosial.
“Artinya mereka butuh diberikan skill untuk bisa melakukan teknik literasi media misalnya perbandingan informasi teks, berita, mencari cari tahu seandainya ketemu dengan sebuah gambar, gambar ini benar atau tidak, konteksnya tentang apa, tentunya itu harus ditanamkan sejak awal,” tuturnya.
Dirinya mengakui bahwa dampak perkembangan teknologi digital tentunya memiliki sisi positif dan negatif terhadap perkembangan karakter anak bangsa. “Dari sisi dampak positif anak-anak ini cenderung gampang menguasai teknologi, sehingga mereka juga bisa mencari konten atau bisa memanfaatkan konten yang ada di dunia digital. Tapi kalau kita bicara dampak negatif tentu banyak sekali yang yang masih belum tertangani dengan baik,” ujarnya
Dikatakannya, sebenarnya yang cukup berbahaya adalah ketika anak-anak terlalu sering menggunakan perangkat digital itu, maka kemampuan literasinya menjadi menurun. “Artinya daya tahan mereka untuk membaca suatu tulisan itu menjadi menurun karena mereka lebih suka untuk melihat konten yang pendek ataupun dalam bentuk-bentuk video atau infografis. Padahal kalau mau menjadi generasi penerus yang berkualitas tentunya mereka tetap harus menguasai material dalam bentuk teks,” ujarnya
Yang kedua menurutnya, anak-anak muda ini belum bisa membedakan informasi yang benar dan bohong (hoax). Generasi anak muda ini menurutnya bukanlah tipe generasi yang suka menyebarkan berita bohong, karena dalam catatannya sebenarya yang lebih banyak menyebarkan berita bohong itu adalah orang-orang yang lebih dewasa yang berusia 35 tahun ke atas.
“Meskipun bukan bagian dari ekosistem itu, tetapi mereka belum memiliki kemampuan untuk bisa membedakan informasi yang benar dan tidak. Misalnya dalam urusan politik katakanlah ketika menjadi pemilih pemula banyak yang sangat-sangat apatis dengan politik kita. Hal ini karena ketidakmampuan mereka membaca atau mengetahui situasi yang sebenarnya,” ujarnya .
Kemudian yang cukup berbahaya sekali sebenarnya adalah anak muda ini literasinya juga terbatas sehingga mereka sangat rentan sekali terpapar oleh konten-konten radikalisme. “Jadi anak-anak muda ini lebih utamanya bukan masalah hoax, tetapi yang lebih bahayanya adalah keterkaitan isu radikalisme. Karena radikalisme juga sebagian juga menggunakan hoax yang berbungkus agama. Jadi itu dampak negatif yang perlu kita tangani,” ungkapnya.
Oleh karena itu dirinya berharap hal tersebut bisa dibuatkan suatu kurikulum yang integratif oleh pemerintah, meski bukan kurikulum khusus yang mungkin bisa disisipkan atau diintegrasikan dengan kurikulum yang sudah ada.
“Pemerintah punya kurikulum TIK (Teknologi, Informasi dan Komputer) dimana itu sudah dimasukkan lagi oleh Kemendikbud di kurikulum, dimana kami juga ikut terlibat untuk memberikan masukkan dalam masalah ini. Tetapi saya rasa perlu dipertajam dan diperkaya sehingga ketika anak-anak ketemu dengan Teknologi digital itu bisa menjadi lebih produktif, bukan justru sebaliknya. Kalau sekarang ini kesannya anak-anak itu lebih banyak yang menjadi konsumen informasi dari pada produsen,” ucapnya.
Untuk itu semua pihak perlu mendorong supaya anak-anak muda ini ketika masuk ke dunia digital tahu cara bagaimana memproduksi konten dengan baik. “Hal-hal seperti itu yang perlu kita tanamkan dan perlu kita masukkan dalam kurikulum, sehingga mereka kemudian tidak gagap atau dan bisa menangkal konten yang menyesatkan saat menggunakan tehnologi digital,” katanya mengakhiri