Jakarta – India sedang diuji dengan tantangan keragaman. Konflik sekterian agama menjadi penyebab munculnya konflik horizontal yang meluas. Tidak seharusnya konflik sektarian di manapun asalnya ini disikapi dengan dalih solidaritas komunal. Hendaknya kita tidak ikut terprovokasi dalam konflik sektarian dan tetap merawat persaudaraan berbangsa dan bernegara.
Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA, mengatakan bahwa pemerintah hendaknya selalu bersikap tegas dalam upaya pencegahan konflik di masyarakat.
“Jadi ketika ada masalah pemerintah itu harus cepat mengantisipasi, misalnya sekarang ada berita di india sedang bergolak, tapi itu kan kejadiannya disana. Artinya kita disini harus tetap menjaga agar jangan sampai hal yang sama terjadi di sini,” ujar Prof. Musdah di Jakarta, Kamis (5/3/2020).
Menurutnya pemerintah bersama tokoh mayarakat dan tokoh agama harus sigap menanggapi setiap informasi yang beredar sehingga informasi yang keliru atau dipelintir-pelintir itu tidak sampai terjadi. Sehingga pemerintah bisa turut mengajak masyarakat untuk menjaga toleransi di indonesia agar jangan sampai ikut-ikutan seperti di luar.
“Pemerintah bisa menghimbau kepada masyarakat untuk tetap bersikap secara rasional dan tidak reaktif berlebihan. Tokoh-tokoh masyarakat, pemuka agama juga harus ikut serta untuk memberika pengertian kepada masyarakat bahwa kita tidak boleh ikut-ikutan seperti di india,” tutur Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) Indonesia itu.
Wanita kelahiran Bone, 3 Maret 1958 ini juga mengungkapkan bahwa pemerintah harusnya memberikan pengertian kepada masyatakat. Sehingga ketika hal tersebut terjadi di India, maka pemerintah seyogyanya juga memberitahukan bahwa hal itu terjadi di negara lain yakni di India, sementara masyarakat bangsa Indonesia harus tetap waspada agar hal sepertti itu jangan sampai terjadi di Indonesia
“Indonesia ini adalah negara dengan ideologi pancasila, tetapi meskipun ideologi kita pancasila, kita menghormati semua agama dan kepercayaan yang berkembang di indonesia. Tidak mayoritas maupun minoritas semua diperlakukan sama dan setara di sini,” ucap Prof. Musdah.
Wanita yang juga Guru Besar Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menjelaskan bahwa kelompok atau mereka-mereka yang menyerukan bahwa umat Islam dipersekusi di India itu juga lupa kalau di Indonesia juga ada hal yang seperti itu.
“Seperti kejadian kemarin Hari Lahir (harlah) NU di Jogja ditolak oleh Muhammadiyah, padahal NU sudah mengantongi ijin kegiatan. Tapi kan akhirnya NU mengalah dan pindah tempat acara. Dan disini aparat pemerintah malah diam saja membiarkan hal itu terjadi,” kata wanita peraih Doktoral bidang Pemikiran Politik Islam di IAIN Jakarta ini.
Lebih lanjut wanita pertama yang pernah dikukuhkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai Profesor Riset bidang Lektur Keagamaan ini mengungkapkan bahwa masyarakat akan sulit untuk mengambil sikap jika pemerintah sendiri tidak tegas.
“Karena saat ini yang saya lihat negara kadang justru tersandera oleh kelompok-kelompok intoleran itu. Padahal pemerintah yang punya power dan kewenangan untuk menertibkan itu semua. Pemerintah aharus bertindak tegas dalam menghadapihal hal yang dilakukan kelompok-kelompok tersebut,” ungkap Peraih Yap Thiam Hiem Human Rights Award (2008) dari Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia itu.
Selain itu Musdah juga menambahkan bahwa saat ini pendidikan agama di Indonesia ini juga belum mampu membuat masyarakat bisa beragama secara rasional sehingga seringkali muncul tindakan-tindakan irasional, tindakan-tindakan intoleran atas nama agama.
“Karena saat ini kita berada di era post-truth, dimana orang-orang tidak percaya lagi pada data-data yang valid, tetapi hanya percaya terhadap apa yang ingin dia percayai meskipun itu tidak benar. Padahal seharusnya apapun kata orang kamu harus tetap rasional, tidak akan ikut-ikutan rusuh atau bahkan menjadi fanatik dan militan,” jelasnya.
Selain itu menurut Musdah penting juga bagi pemerintah untuk mengatasi ketimpangan sosial di masyarakat. “Karena kelompok-kelompok inteloran itu sering mengatakan dan menyalahkan pemerintah yang terlalu bergantung kepada asing, bisa dilihat seperti bawang putih saja kita masih import dari Cina. Padahal seharusnya kita hidupkan pertanian kita agar menjadi berkualitas sehingga kita mampu menghidupi diri kita sendiri,” ucapnya.
Oleh karena itu Musdah menuturkan bahwa ketimpangan sosial dan juga korupsi itulah yang membuat masyarakat kita menjadi frustasi. Akhirnya hal ini menyebabkan distrut dimasyarakat yang akhirnya mereka mempercayai bahwa Pancasila harus dirubah menjadi dasar negara yang berdasarkan agama tertenu misalnya seperti Islam.
“Jadi kelompok-kelompok intoleran ini sangat mudah memutarbalikkan fakta bahwa dengan membangun negara Islam semuanya bisa selesai, Itu kan sebetulnya omong kosong. Tapi yang parah itu masyarakat kita ini malah banyak yang percaya. Itu yang saya sayangkan di masyarakat kita ini banyak yang berpikir sempit,” katanya.
Selama ini ICRP sendiri menurut Musdah sudah sering kali untuk ikut berperan serta dalam memberikan edukasi kepada masyarakat dengan membuat tulisan, seminar, diskusi. Namun demikian yang terjadi dilapangan malah ada juga kelompok-kelompok intoleran yang berusaha ‘menganggu’ dengan turut serta menyebarkan sikap-sikap yang intoleran.
“Tetapi dilapangan kami tidak bisa bergerak lebih jauh karena kami tidak memiliki kewenangan untuk itu. malah kadang-kadang aparat itu seperti tidak bisa berkutik juga terhadap kelompok-kelompok yang intoleran itu, sulit juga jadinya. Jangan sampai nanti kita kaget malah kelompok intoleran ini jadi ‘taliban’ beneran, kalau sudah gitu ya susah,” ujarnya mengakhiri.