Jakarta — Meningkatnya kasus intoleransi dan penyebaran paham radikal di Indonesia dinilai perlu ditangani secara kolaboratif oleh seluruh elemen bangsa. Pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta, media, serta tokoh agama diminta bahu-membahu menguatkan fondasi toleransi untuk menjaga persatuan nasional.
Data Setara Institute menunjukkan, sepanjang 2024 terjadi 260 peristiwa dan 402 tindakan intoleransi, meningkat dibanding tahun sebelumnya. Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melaporkan lebih dari 2.200 akun media sosial menyebarkan lebih dari 10 ribu konten bermuatan terorisme.
Meski tidak ada aksi teror besar yang terjadi selama dua tahun terakhir, potensi radikalisasi masih terus berkembang, terutama di ruang digital.
Guru Besar Ilmu Keamanan Internasional Universitas Kristen Indonesia (UKI), Prof. Angel Damayanti, menilai penyelesaian masalah intoleransi, radikalisme, dan terorisme tidak bisa dilakukan secara parsial.
“Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Semua pihak harus terlibat, baik di tingkat pusat maupun daerah, termasuk akademisi, tokoh agama, media, dan masyarakat sipil,” ujarnya di Jakarta, Senin (28/10).
Angel menyebut, persoalan radikalisme memiliki akar yang kompleks — mulai dari faktor sosial, ekonomi, hingga politik. Karena itu, pendekatan yang dibutuhkan bukan hanya represif, melainkan juga edukatif dan kultural.
“Pendidikan menjadi kunci. Melalui pendidikan, seseorang bisa berpikir lebih luas, tidak sempit, dan tidak mudah terprovokasi oleh ide kekerasan,” ujarnya.
Menurutnya, pendidikan yang baik akan membentuk karakter dan moral masyarakat, sekaligus menjadi jalan keluar bagi berbagai persoalan sosial lain seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan ekonomi.
“Kalau satu masalah terselesaikan, yang lain ikut terurai. Maka, penguatan pendidikan dan nilai-nilai kebangsaan harus menjadi prioritas,” tambahnya.
Angel menilai, penguatan toleransi juga dapat dilakukan melalui forum lintas agama dan kegiatan sosial yang melibatkan masyarakat beragam latar belakang. “Keterlibatan tokoh agama dan masyarakat lokal sangat penting untuk membumikan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan,” katanya.
BNPT sendiri mencatat, upaya kontra-radikalisasi telah dilakukan melalui kampanye digital, pelatihan literasi bagi anak muda, hingga kerja sama dengan perguruan tinggi. Namun, Angel menilai, pendekatan kultural dan pendidikan jangka panjang tetap menjadi strategi paling efektif untuk membangun ketahanan nasional terhadap ekstremisme.
“Kalau masyarakat tercerahkan, maka narasi kebencian tidak akan laku. Itu cara terbaik menjaga Indonesia tetap damai,” tutupnya.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!