Yogyakarta – Muhammadiyah tetap memegang teguh komitmen bahwa Indonesia adalah darul ahdi wa syahadah yang artinya negara tempat kita melakukan konsensus nasional. Komitmen itu pula yang menjadi senjata Muhammadiyah dalam melawan berbagai upaya yang ingin merusak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Muhammadiyah meyakini NKRI adalah hasil komitmen bersama, hasil kesepakatan bersama para anak bangsa, termasuk tokoh muhammadiyah dan tokoh umat untuk membentuk satu-satunya negara yaitu NKRI. Karena itu Muhammadiyah memandang NKRI, cukup sebagai satu tata pemerintahan, tata negara, yang menaungi melingkupi warga anak bangsa di Indonesia,” ujar Wakil Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr. Agung Danarto, M.Ag, saat membuka Sarasehan Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Kalangan Guru dan Mubaligh Muhammadiyah kerjasama BNPT dan UMY di Yogyakarta, Kamis (20/2/2020).
Agung mengungkapkan, sejak awal Muhammadiyah ikut melahirkan Indonesia dan itu tentu menjadi konsensus seluruh anak bangsa. Bahkan hingga sekarang Muhammadiyah tidak pernah kepikiran untuk mencari alternatif atau sistem negara lain, kecuali NKRI dan Pancasila.
“Kalau ada orang Muhammadiyah yang ingin menari alternatif lain seperti negara Islam, khilafah, kerajaan Islam, hampir pasti kita katakan oknum, bukan mewakili organsiasi atau persyarikatan, karena Muhammadiyah sejak dulu sampai muktamar terakhir sudah menyampaikan seperti itu,” terang Agung.
Menurutnya, NKRI bukan taken for granted, bukan sesuatu yang otomatis akan menciptakan masyarakat adil makmur yang diridloi allah swt. Karena itu Muhammadiyah menganggap NKRI ini darussahadah, suatu bentuk negara yang harus dpelihara dan diperjuangkan agar betul-betul bisa membawa bangsa Indonesia menjadi masyarakat yang maju, adil, makmur, sejahtara. Itu telah menjadi komitmen Muhammadiyah untuk ikut bersama, menjaga, membangun, mengisi serta menyiapkan kader untuk membangun NKRI.
“Ini tugas dari jihad dan perjuangan muhammadiyah. Kalau di Anggaran Dasar Muhammadiyah sekarang yaitu terbentuknya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Tapi lebih dalam lagi yaitu masyarakat adil makmur yang diridloi Allah SWT. Karenanya menjadi bagian komitmen kita bersama untuk memelihara NKRI serta ikut mengisi pembangunan,” ungkapnya.
Ia mengakui, kalau dilihat genealogi Muhammadiyah, ada suatu irisan bahwa Muhammadiyah hampir sama dengan kelompok salafi, yaitu terinsiprasi gerakan Muhammad bin Abdul Wahab, yang di banyak tempat gerakan itu disebut wahabi. Menurutnya Muhammadiyah memang terinspirasi dari gerakan Muhammad bin Abdul Wahab terutama dalam pemurnian atau purifikasi terkait tahayul, bid’ah, dan khurafat.
Hanya, lanjutnya, gerakan Wahabi yang keras di Timur Tengah (Timteng), di Muhammadiyah diredam sehingga tidak ada sifat destruktif. Kalau di Timteng, Wahabi menghancurkan tempat bersejarah, ketika masuk di Indonesia, Muhamadiyah tidak seperti itu.
“Meski anti tahayul, bid’ah, dan khurafat, tapi tidak pernah ada Muhammadiyah menghancurkan makam para wali dan sebagainya,” tukas Agung.
Bahkan terang Agung, kalau dilihat, Muhammadiyah lahir di halaman keraton. Padahal menurut orang puritan, keraton itu tempat tahayul, bid’ah, dan khurafat. Tapi Muhammadiyah justru hadir di keraton dan sekian lama Muhammadiyah tidak pernah konflik dengan keraton. Itu karena kemampuan Muhammadiyah dalam meredam dengan hal-hal menjadi positif. Kalau orang Arab meledak-ledak, di Indonesia ledakan itu diredam sehingga potensi destruktif menjadi hilang, diganti aspek posiitif dalam merevitalisasi Islam itu sendiri.
Agung mengakui, sampai sekarang, masih ada orang Muhammadiyah tidak bisa membedakan wahabi dan salafi. “Kenapa? Karena sama-sama memperjuangkan gerakan tauhid. Muhammadiyah mengarusutamakan tauhid, Wahabi mengarusutamakan amar ma’ruf nahi munkar. Tapi Wahabi lebih kuat pada nahi munkar, sementara Muhammadiyah lebih ke amar ma’ruf.
“Muhammadiyah melakukan nahi mungkar tapi dilakukan dengan amar ma’ruf,” jelasnya.