Jakarta – Perayaan hari Natal dan Tahun Baru adalah ajang sukacita
bagi masyarakat Indonesia. Dari tahun ke tahun, selalu saja ada yang
mewarnai momentum pergantian tahun dengan propaganda negatif. Untuk
itu, masyarakat perlu memiliki kewaspadaan dini supaya kebersamaan
anak bangsa tidak terusik oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik
Indonesia (BNPT RI) Prof. Dr. Irfan Idris M. Ag., menjelaskan harus
ada tindakan yang ditempuh sebagai upaya preventif dan deteksi dini
aksi teror yang mungkin mengganggu perayaan Natal dan Tahun Baru.
“Langkah yang harus lakukan tentu kita membangun komunikasi interaktif
dan produktif, dengan seluruh stakeholder terkait. Kita juga saling
menjaga serta mewaspadai adanya letupan aksi atau sel teror yang tidur
dan cenderung memanfaatkan konflik yang terjadi di negara lain,”
terang Prof. Irfan di Jakarta, Rabu (12/12/2023).
Menurutnya, dunia perlu belajar dari berbagai tragedi kemanusiaan di
wilayah timur tengah, khususnya antara Palestina dan Israel. Juga
aksi-aksi teror yang dilakukan kelompok teroris. Karena itu
kebersamaan yang telah terjalin di Indonesia melalui dialog antar
kelompok masyarakat dan proses mitigasi lainnya perlu dipelihara
dengan baik.
Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut diatas, ungkap Prof Irfan,
konstruksi berpikir dan pola komunikasi pada tatanan grass root
selayaknya dapat mengangkat topik bahasan yang mampu merekatkan
kebersamaan satu sama lain. Juga perlu tingkatkan lagi penerapan
inklusivitas, baik di sektor formal seperti kementerian dan lembaga,
hingga di lingkar pergaulan anak muda yang notabene akan menjadi
penentu masa depan bangsa.
Selain itu, lanjutnya, penguatan empat konsensus dasar berbangsa dan
bernegara yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945
menjadi hal yang vital dalam memupuk wawasan kebangsaan dan rasa cinta
tanah air anak bangsa.
“Kurangnya narasi penguatan terhadap empat konsensus dasar berbangsa
dan bernegara menjadi hal yang menguras perhatian masyarakat untuk
kemudian mengonsumsi konten radikalisme dan terorisme. Sah-sah saja
kalau mereka yang mempelajarinya memiliki standing point dan kontrol
diri yang baik. Namun jika tidak, tentu akan menyimpan konsekuensi
negatif dengan mudahnya mereka setiap saat berselancar di dunia maya,”
terangnya.
“Akhirnya dia tertarik dan bersimpati. Maka dari itu, narasi-narasi
yang beredar dari kelompok intoleran dan radikal harus kita luruskan
dengan berbagai model pertemuan dan diskusi, baik offline maupun
online. Kesemuanya dilakukan dengan harapan akan timbul kewaspadaan di
antara masyarakat untuk saling mengingatkan,” tambah Prof. Irfan.
Dirinya pun menyoroti kejahatan terorisme yang bisa menimbulkan
ketidakpercayaan antar satu golongan masyarakat dengan lainnya.
Terorisme adalah kejahatan lintas negara yang harus dikenali secara
komprehensif karena tidak bisa melihat secara parsial pada tiap kasus
yang ada. Seperti halnya kasus bom gereja yang terjadi di Marawi,
Filipina. Hal semacam ini perlu diwaspadai karena berpotensi
memunculkan kejadian serupa di wilayah lain, sebab sifat jaringan
terorisme yang borderless atau tak kenal batas.
“Jangan sampai ada yang memanfaatkan momentum perayaan hari besar
untuk membangun semangat melakukan aksi teror, karena hal semacam ini
sudah banyak terjadi. Masih hangat dalam ingatan kita, di gereja
katedral Makassar pernah mengalami serangan teror ketika umat Katolik
sedang beribadah.”
“Oleh karena itu, seluruh komponen bangsa harus sama-sama mendampingi
generasi muda agar jangan sampai terjadi aksi teror yang disebabkan
self-radicalization lewat media sosial. Pelaku teror yang awalnya
terpapar kemudian beraksi sendiri (lone wolf), dan memang generasi
muda serta perempuan menjadi sasaran utama dari radikalisasi jaringan
teror,” imbuh Prof. Irfan.
Ia melanjutkan bahwa pola kaderisasi jaringan teror biasanya memiliki
racikan tersendiri yang dilakukan sangat kencang di bawah permukaan.
Ada tiga hal yang umumnya mereka lakukan, yaitu pelatihan paramiliter,
perekrutan anggota baru dan pendanaan aksi teror.
Ia mengungkapkan bahwa pada dasarnya, perekrutan anggota yang
dilakukan jaringan teror itu sulit terlihat, tetapi lewat media sosial
mereka dengan gencar menyebarkan narasi-narasi provokatif. Ada
penggunaan istilah yang menarik untuk didiskusikan dan terangkan
kepada seluruh masyarakat Indonesia. Masyarakat harus terus cierahkan
tentang apa yang dimaksud dengan malinformasi, dan ini seringkali
digunakan dalam kepentingan doktrinasi jaringan teror.
“Malinformasi itu maknanya bahwa suatu kata yang secara istilah sudah
benar, tapi disalahgunakan dalam penggunaannya, seperti apa yang
dilakukan kelompok radikal teroris. Umat Islam tentu mengenal istilah
‘jihad,’ yang biasa dimaknai dengan ‘berjuang.’ Sayangnya, para
kelompok teror sering memelintir istilah ini sebagai doktrinasi untuk
melakukan aksi bom bunuh diri. Inilah yang dikatakan sebagai
malinformasi,” ungkap Prof. Irfan.
Menghadapi fakta di lapangan akan maraknya penggunaan istilah
keagamaan yang sengaja dibelokkan demi kepentingan tertentu, lanjut
Prof Irfan, umat harus memahamkan diri dan orang lain agar terjaga
dari virus radikalisme. Media dan segala bentuknya juga memiliki peran
krusial dalam mengisi kekosongan waktu, pikiran, dan pendampingan
terhadap malinformasi.
“Harus diakui bahwa generasi muda hampir tidak mungkin untuk
menghindar dari arus globalisasi yang semakin deras. Walaupun
demikian, mereka harus mampu mengikuti kencangnya arus informasi,
mempelajarinya dan memahaminya, namun tanpa terbawa olehnya,” pungkas
Prof. Irfan.