Manila – Pihak berwenang Filipina pada Rabu 14 Oktober mengatakan bahwa tersangka perempuan Warga Negara Indonesia (WNI) yang ditangkap karena merencanakan melakukan bom bunuh diri akan diadili. Perempuan itu akan menjadi kasus uji untuk undang-undang anti-teror (ATL) yang baru disahkan.
“Ini adalah kasus besar pertama. Saya pikir, di mana orang-orang tertentu yang dicurigai sebagai teroris asing dituduh melanggar undang-undang anti-terorisme baru kami,” kata Menteri Kehakiman Menardo Guevarra kepada Arab News, Rabu (14/10).
Dia menambahkan bahwa Dewan Anti-Terorisme telah menyetujui penerapan aturan dan regulasi (IRR) untuk Undang-Undang Anti-Terorisme 2020 (ATA) yang kontroversial, yang ditandatangani Presiden Rodrigo Duterte pada Juli.
“Jaksa provinsi Sulu telah diberitahu bahwa IRR dari ATL telah disetujui oleh Dewan Anti-Terorisme hari ini,” katanya.
Perempuan Indonesia bernama Nana Isirani, yang juga dikenal sebagai ‘Rezky Fantasya Rullie’ atau ‘Cici’, ditangkap di sebuah rumah di Jolo, Sulu. Di rumah itu pasukan pemerintah menemukan rompi bunuh diri dan komponen bom.
Sebelumnya, pihak militer mengatakan bahwa Rullie yang sedang hamil telah mengajukan diri untuk melakukan serangan bunuh diri setelah melahirkan. Dia berencana melakukan serangan “untuk membalas dendam” atas kematian suaminya, Andi Baso, seorang militan Indonesia yang dilaporkan tewas dalam bentrokan dengan pasukan pemerintah pada 29 Agustus di Kota Patikul, Sulu.
Rullie ditangkap bersama dua wanita lain yang diyakini sebagai istri anggota Kelompok Abu Sayyaf (ASG).
Sementara itu, Guevarra juga mendukung pernyataan Senator Panfilo Lacson pada Selasa bahwa penangkapan Rullie akan menjadi kasus uji coba yang baik bagi ATL. Terutama ketentuannya yang menghukum ‘pelanggaran inchoate’ atau ‘pelanggaran yang baru saja direncanakan’.
Lacson, mantan kepala Kepolisian Nasional Filipina (PNP) yang menjadi anggota parlemen, mengatakan bahwa bom dan barang-barang lain yang disita dari Rullie mengindikasikan bahwa dia sedang mempersiapkan serangan teroris.
“Ini adalah salah satu contoh pelanggaran inchoate yang dapat dihukum di bawah undang-undang anti-terorisme yang baru. Dengan memasukkan pelanggaran inchoate, kami mengkriminalisasi tindakan para tersangka yang ditangkap sebelumnya yang meliputi perencanaan, persiapan, dan fasilitasi terorisme,” tegas Lacson.
Dia menambahkan bahwa salah satu fitur baru dari ATL adalah menghukum “pelanggaran inchoate,” atau tindakan persiapan yang dianggap kriminal bahkan tanpa tindakan merugikan yang sebenarnya. Asalkan tindakan berbahaya yang akan terjadi adalah tindakan melanggar hukum seperti terorisme.
Hal ini akan “mencegah terorisme” bahkan sebelum tindakan kekerasan teroris dilakukan.
Menghukum pelanggaran kecil, kata Lacson, tercakup dalam mandat di bawah Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1373, yang menyatakan bahwa “perencanaan dan persiapan, antara lain, ditetapkan sebagai tindak pidana serius dalam undang-undang domestik dan bahwa hukuman tersebut harus mencerminkan keseriusan tindakan teroris tersebut.”