Perempuan dalam Bayang Terorisme: Dari Pelaku Jadi Penggerak Perdamaian

Jakarta — Keterlibatan perempuan dalam jaringan terorisme tak lagi bisa dipandang sebelah mata. Fenomena ini tidak hanya menambah kompleksitas ancaman ekstremisme, tetapi juga menantang pendekatan penanggulangan yang selama ini terfokus pada dominasi laki-laki sebagai pelaku utama. Dalam menghadapi tren ini, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menilai bahwa pendekatan literasi berbasis kemanusiaan menjadi salah satu kunci pencegahan yang paling relevan.

Salah satu upaya konkret terlihat dalam peluncuran buku Keluar dari Jerat Kekerasan, karya Dr. Leebarty Taskarina. Buku ini memuat kisah nyata 20 perempuan yang pernah terlibat dalam jaringan terorisme, dan kini memilih jalan pulang menuju kehidupan damai.

Kepala Subdirektorat Intelijen BNPT, Kombes Pol Bayu Wijanarko, mengapresiasi peluncuran buku tersebut. Menurutnya, publik perlu memahami bahwa perempuan—yang selama ini dikenal memiliki naluri keibuan—ternyata juga bisa menjadi aktor utama dalam aksi kekerasan ideologis.

“Ini bukan hanya soal siapa pelakunya, tapi bagaimana kita memahami perubahan dinamika tersebut,” ujar Bayu saat menghadiri peluncuran buku pada Sabtu (5/7/2025). 

Ia menambahkan bahwa selama ini perempuan kerap dianggap hanya sebagai pendukung logistik atau penyebar ideologi di dalam rumah tangga. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa peran mereka telah bertransformasi.

Dalam dua dekade terakhir, tren global—termasuk di Indonesia—menunjukkan bahwa perempuan juga menjadi pelaku langsung, bahkan ikut merancang aksi teror, termasuk bom bunuh diri. Perubahan ini, menurut Bayu, menuntut pendekatan baru yang melibatkan perempuan sebagai bagian dari solusi.

“Perempuan justru bisa menjadi benteng pertama dalam membangun ketahanan ideologis, terutama di keluarga dan lingkungan akar rumput,” tegasnya.

Bayu menegaskan pentingnya mengarusutamakan perempuan dalam strategi kontra-radikalisasi. Bukan sekadar objek perlindungan, tetapi sebagai subjek aktif dalam membangun ketahanan bangsa.

“Jika ekstremisme melibatkan perempuan, maka pemberantasannya juga harus melibatkan perempuan sebagai ujung tombak,” tegasnya.

BNPT pun mendorong kolaborasi lebih luas antara penulis, akademisi, dan organisasi perempuan agar upaya literasi dan kontra-radikalisasi lebih membumi, menyentuh hati, dan tidak berhenti hanya sebagai kampanye formalitas.

Senada dengan itu, pakar terorisme Solahudin mencatat lonjakan signifikan dalam jumlah perempuan yang terlibat tindak pidana terorisme. Jika sebelumnya hanya belasan, kini angkanya mencapai lebih dari 50 orang—lonjakan lima kali lipat dari periode sebelumnya.

Ia menjelaskan bahwa kelompok ekstremis kini mengeksploitasi daya tarik media. “Kalau laki-laki yang jadi pelaku, publik menganggapnya biasa. Tapi kalau perempuan, itu luar biasa dan jadi sorotan besar,” katanya. Inilah sebabnya, narasi pencegahan harus mampu mengejar langkah propaganda yang dijalankan secara strategis oleh jaringan teror.

Lewat pendekatan humanistik dan naratif, buku Keluar dari Jerat Kekerasan mencoba membongkar alasan sosial, psikologis, dan spiritual yang mendorong perempuan ke jalan ekstrem. Penulisnya, Dr. Leebarty Taskarina, berharap masyarakat membaca buku ini tanpa kacamata penghakiman. (TA)

“Buku ini bukan untuk menggurui, tapi untuk membuka ruang empati. Dengan memahami kisah mereka, kita bisa menyusun strategi pencegahan yang lebih adil dan menyentuh akar masalah,” ujarnya.