Klaten – Negara Indonesia ini sedang dalam masa percobaan, namun sebagai warga negara kita senantiasa optimis, karena ini tanggung jawab kita yakni bermasyarakat berbangsa dan juga bernegara. Apalagi isu-isu kegelisahan sedang melandai bangsa semisal hukum yang belum ditegakkan dengan adil.
Hal tersebut diungkapkan Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Jawa Tengah (MUI Jateng), Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA, dalam Dialog & Bedah Buku tersebut yang digelar Subdit Kewaspadaan BNPT bersama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah di Hotel Grand Tjokro, Klaten, Jawa Tengah pada Minggu (26/6/2016).
“Dalam perspektif MUI Jateng, kami melayani sebaik- baiknya. Wariayatil Ummah, yakni menganut cara beragama yang tawasuth, adil, seimbang, dan tidak memihak. Masing-masing harus memerankan perannya, supaya perbedaan yang muncul di masyarakat bisa kita toleransi (saling menghormati),” ujar Ahmad Rofiq.
Menurutnya, MUI pernah mengeluarkan 10 kriteria aliran sesat, di antaranya Ahmadiyah Qodiyah tahun 1985 karena menyangkut aqidah. Mengakui Mirza Ghulam Nabi Qiyadah Islamiyah dengan Imam Ahmad Musadeq dan belakangan muncul Gafatar, terjadinya pemurtadan masal. KTP Islam namun tak berlaku islam.
“MUI Jawa Tengah pernah mengeluarkan fatwa, Aliran Sabdo Kusuma yang pertama muncul di Kudus karena menggunakan jasa lawyer. Jadi MUI tidak bisa melakukan penyidikan sehingga diangkat dan di fatwakan oleh MUI Jateng. Pentimpangan dalam kelompok ini misalnya syahadat yang berubah, serta konsep istri ma’rifat. Inilah awal terbongkarnya bahwa Aliran Sabdo Kusumo sesat,” katanya menjelaskan.
Fatwa di buat oleh MUI Pati melakukan tabayyun dan dan telah dikonfirmasi. Namun makin hari munculnya kelompok radikal ini semakin banyak. Hal tersebut semata-mata seperti fenomena antropologis agar berhasil tujuan individu semisal menjadi imam.
“Dari buku Mudah Mengkafirkan ini dapat disimpulkan bahwa ekstrimis muncul dari dukungan setia. Orang konflik itu capek, kalau kita hidup bersama dengan harmonis menjalankan agama dengan kepercayaan masing-masing negara ini akan nyaman,” katanya mengakhiri.
Sementara itu Wakil Ketua Pengurus Wilayah (PW) Muhammadiyah Jawa Tengah, Dr. H. Rozihan, SH., M.Ag, mengatakan bahwa ormas itu ada dua yakni, arus besar/kuat dan arus kecil. Dirinya mencontohkan, Arus Kecil seperti FPI, HTI, Laskar Jihad, LDII dan lain sebagainya. Sementara untuk Arus Besar : Muhammadiyah dan NU.
“Informasi yang tidak sampai ke bawah itulah yang memunculkan crash. Semisal ajaran madzhab yang hanya difahami setengah setengah. Untuk menjaga aqidah umat islam di buatkan sekat antara muslim dan kafir. Konsep Muhammadiyah dan NU berkenaan dengan yang penentuan awal bulan berbeda yakni tak budi (untuk NU) dan taakkuli (untuk Muhammadiyah),” katanya menjelaskan.
Menurutnya, kita harus bisa mencoba menjelaskan kepada masyarakat karena pemahaman masyarakat yang berbeda-beda. Mengkaji saling mengkafirkan karena tidak memahami dimensi fiqihnya. “Nabi itu memang membuat dan memberikan informasi yang sulit untuk dipersatukan. Jadi beragama dengan keyakinan yang akan menciptakan kenyamanan dan kerukunan,” ujarnya.
Dikatakannya, Muhammadiyah sendiri sudah berkompromi dengan orang kafir sejak jaman Belanda. Orang non muslim karena sudah berjanji taat perjanjian dan patuh terhadap UUD 45 dan Pancasila, dan kita tidak boleh memerangi tapi saling menghormati.
“Maka dari itu banyaklah membaca agar banyak menguasai ilmu dari sudut pandang yang berbeda. Agar negara ini penuh toleran,” katanya mengakhiri.