Jakarta – Lambannya revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme oleh DPR RI sudah sering menuai kritik dari berbagai pihak. Bahkan, dua bulan lagi akan tutup tahun 2017, namun revisi yang sudah dimulai sejak Januari lalu belum juga membuahkan hasil.
Ketika diminta pendapatnya tentang masalah ini, pengamat politik Dr Emrus Sihombing, MSi mengatakan, lamanya pembahasan dilakukan dipicu kepentingan politik partai-partai yang ada di DPR.
“Kalau dari aspek politik saya lihat karena teman-teman yang ada di DPR kan terdiri dari beberapa partai. Masing-masing partai punya kepentingan politik yang berbeda-beda. Karena kepentingan fraksi atau partai yang berbeda-beda, terjadi di sana diskusi yang alot sehingga undang-undang teroris itu lama diproses,” katanya dalam perbincangan dengan Damailahindonesiaku.com, beberapa hari lalu.
Namun, kata Direktur Emrus Corner itu, ketika DPR mempunyai pandangan yang sama bahwa teroris adalah ancaman yang luar biasa, proses pembahasan tersebut bakal rampung.
“Saya pikir kalau teman-teman memiliki pandangan yang sama bahwa teroris itu ancaman luar bisa dan mereka mengedepankan NKRI, saya pikir tidak lama itu. Itu karena kepentingan politik mereka berbeda-beda sehingga proses pembahasan berlarut-larut,” katanya.
Pembahasan Rancangan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah mulai dilakukan sejak 26 Januari 2017 oleh DPR bersama pemerintah.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W Eddyono dalam keterangan tertulis kepada media pada 26 Juli 2017 lalu mengatakan, pembahasan RUU yang belum disepakati atau dipending yakni mencakup judul, konsiderans, dan ancaman pidana dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme harus disesuaikan dengan R KUHP, pencabutan kewarganegaraan, dan penyadapan.
Sementara itu, ada konten yang belum dibahas dalam RUU tersebut, yaitu mengenai hal-hak korban terorisme dan pencegahannya. Adapula ketentuan yang luput dari pembahasan, yakni mengenai mekanisme pengawasan selama masa tahanan.
Atas alasan itu, Supriyadi menilai bahwa pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme selama ini masih kurang maksimal. Utamanya dalam hal intensitas dan kefokusan pembahasan, apalagi dengan mekanisme pembahasan yang dilakukan secara tertutup. “ICJR masih menyayangkan pembahasan secara tertutup atas ketentuan penangkapan dan penahanan,” sesalnya.