Jakarta – Sejak 2017, berbagai lembaga bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah menyusun Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE). Namun hingga saat ini, dokumen tersebut tak kunjung disahkan presiden. Diskusi mengenai isinya bahkan masih terus berjalan setelah proses selama lebih dari dua tahun terakhir.
Terkait ini, Working Group on Women Countering/Preventing Extremisme (WGWC) menggelar diskusi pada Senin (4/5) sore. Pengarusutamaan gender dalam RAN PE menjadi bahasan utama.
Peneliti Anick Hamim Tohari, yang terlibat dalam penyusunan dokumen tersebut, mengungkap berbagai sisi termasuk mengapa RAN PE memakan waktu dalam penyiapannya. Terkait peran perempuan, kata Anick, perannya masih menjadi bahan diskusi sampai saat ini.
“Kita tahu yang disebut perempuan dalam dalam konteks terorisme juga masih simpang siur. Simpang siur itu apakah perempuan itu sebagai aktor utama, ideolog atau sebenarnya dia hanya kepanjangan tangan dari laki-laki sebagai strategi,” kata Anick.
Salah satu tragedi yang menjadi perhatian dalam diskusi terkait isu ini adalah bom Surabaya pada 2018. Dalam bahasan RAN PE, oleh sebagian kalangan peran perempuan dinilai cukup signifikan melahirkan teror tersebut. Namun jika kemudian peristiwa tersebut dijadikan sebagai landasan untuk memposisikan peran perempuan dalam ekstremisme sebagai aktor semata, maka semua langkah deradikalisasi akan memposisikan hal yang sama.
“Kalau kita positioning-nya bermasalah, maka treatment-nya kan bisa bisa bermasalah. Meskipun niat baik kita untuk mainstreaming gender dalam konteks terorisme, itu kita letakkan secara cepat, tapi kemudian kalau kalau problem dasarnya kita masih bermasalah,” ujar Anick.
Sebelum ini, lanjut Anick, masih ada gugatan sebagian kalangan melihat fenomena perempuan sebagai pengantin atau eksekutor bom bunuh diri. Muncul pertanyaan penting, apakah perempuan hadir betul-betul murni karena faktor ideologis, atau sebagai orang suruhan?
Diskusi lain yang masih berjalan adalah pilihan untuk meletakkan peran perempuan dalam RAN PE. Apakah peran itu akan dijabarkan dalam satu bagian khusus, ataukah menjadi prinsip yang menjiwai keseluruhan isinya. Sejauh ini dalam dokumen yang telah ada, alternatif kedua telah dipilih.
Beberapa perempuan Indonesia mengikuti aksi unjuk rasa pendukung kelompok Hizbut Tahrir di Jakarta, menuntut penerapan hukum Syariah di Indonesia (foto: dok).
Peran organisasi perempuan juga disinggung dalam dokumen tersebut. Disebut dengan jelas, organisasi perempuan yang terlibat termasuk mandat yang diberikan. Secara khusus, komunitas perempuan juga dilibatkan dalam kampanye sosialisasi dan peran pencegahan. Di sisi lain, RAN PE juga menjadikan perempuan sebagai kelompok. Ada mandat untuk memperhatikan kekhususan kebutuhan perempuan dalam program deradikalisasi.
Salah satu persoalan mendasar yang masih harus diselesaikan dalam pengesahan RAN PE adalah penggunaan istilah ekstremisme itu sendiri. Istilah tersebut selama ini digunakan karena secara formal dipilih oleh PBB untuk isu terkait. Namun, pemerintah Indonesia belum menggunakannya dalam dokumen resmi dan program-program nasional. Karena itu, pemerintah pusat masih bergelut dengan nomenklatur.
Kabar baiknya adalah BNPT menyambut baik peran lembaga swadaya masyarakat untuk membahas isu ini bersama-sama. Diharapkan dalam waktu dekat, persoalan-persoalan teknis dapat diselesaikan dan dokumen tersebut segera dapat disahkan oleh Presiden.
Pembicara lain dalam diskusi daring ini, Yunianti Chuzaifah dari AMAN Indonesia, mendorong upaya pengarusutamaan perempuan secara hakiki, tidak sekadar formalitas.
“Ada kecenderungan dalam berbagai kebijakan yang disebut dengan pengarusutamaan gender cukup puas dengan melibatkan perempuan atau mencantumkan kelembagaan perempuan dalam deretan. Padahal, misalnya, dimensi gender itu harus terlihat dalam proses mendesain, dalam review dalam mengimplementasi. Kunci-kuncinya ini ada di tahapan-tahapannya,” kata Yunianti.
Dia mengingatkan, keadilan gender mencakup pengakuan keberadaan perempuan dalam peran dan kerentanannya. Tidak cukup hanya disebut nama-nama lembaga perempuan dalam sebuah dokumen. Lebih penting dari itu adalah seberapa jauh kebijakan pendanaan, bagaimana perempuan menjadi kelompok prioritas dalam program deradikalisasi. Termasuk, lanjut Yunianti, keterlibatan perempuan yang setara dan substanstif.
Yunianti menggarisbawahi, bahwa yang diperlukan bukan hanya penyertaan perempuan, tetapi pelibatan mereka. Pelibatan tidak boleh hanya artifisial, tapi pemikirannya harus didengar, kehadirannya secara fisik dijamin, dan bagaimana perempuan tertuang dalam dokumen dan implementasinya.
Dia juga memaparkan perlunya keterlibatan perempuan dalam multi ruang. Selama ini, pelibatan perempuan banyak dilakukan di ruang-ruang formal, seperti waktu yang diberikan di depan mikrofon untuk berbicara dalam forum tertentu. Padahal ada ruang lain yang harus dijamin pelibatan perempuan secara tepat.
Misalnya untuk deradikalisasi bagi perempuan di kelompok radikal, sulit bagi mereka untuk berbicara di ruang publik.
“Ya, bagaimana diberi ruang supaya dia merasa aman. Kalau melakukan riset yang didengar jangan hanya laki-laki. Misalnya, perempuan kalau ada laki-laki tidak mau ngomong, berarti perlu ruang khusus untuk mereka,” tambah Yunianti.
Perempuan, terkait ekstremisme juga tidak berada dalam satu sudut semata. Yunianti memberi contoh, perempuan yang direkrut ISIS di luar negeri, memiliki latar belakang ekonomi yang berbeda-beda. Perlakuan terhadap perempuan dengan latar belakang ekonomi baik, tentu berbeda dengan mereka yang berlatar belakang pekerja migran.
Yunianti mengakui, masih ada kerumitan mendefinisikan peran perempuan dalam ekstremisme. Apakah dia menjadi aktor ataukah korban, atau bisa jadi juga sebagai korban sekunder. Ada perempuan yang berperan merekrut anggota, ada pula yang menjadi eksekutor bom. Tetapi banyak yang terlibat karena berada di bawah tekanan dan paksaan. Harus dilihat pada saat apa gender dipakai oleh kelompok teroris sebagai daya panggil keadilan spiritual dalam kasus ini. Pilihan definisi ini, kata Yunianti akan membawa konsekuensi.
Dalam kasus isu pemulangan mantan anggota ISIS misalnya, perempuan tidak memperoleh perhatian berbeda karena mereka dianggap sebagai pelaku. Padahal harus dilihat lebih jauh, apakah mereka aktor sebenarnya atau hanya pelengkap di dalamnya.