Jakarta – Pemerintah Daerah (Pemda) dari tingkat provinsi, kabupaten, kota, bahkan sampai ke desa, memiliki peran vital dalam penanggulangan terorisme. Karena itu, Pemda proaktif dan tidak cuek dengan berbagai dinamika radikalisme dan terorisme yang ada di wilayahnya masing-masing.
Pernyataan itu diungkapkan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, MH, saat memberikan pembekalan strategi pencegahan dan penanggulangan terorisme pada Rapat Koordinasi (Rakor) Sinergitas Kebijakan Pemerintah Untuk Mempercepat Pencapaian Target Kinerja RPJMN Tahun 2015-2019 di Gedung Sasana Bhakti Praja, Kemendagri, Jakarta, Rabu (17/10/2018). Acara diikuti pejabat eselon 1 dan 2 Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Nasional Pengelola Perbatasan, dan Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) seluruh Indonesia. Acara itu dibuka oleh Mendagri Tjahjo Kumolo.
“BNPT sangat berkepentingan dengan Pemda dalam penanggulangan terorisme. Kenapa? Karena berbicara terorisme, tidak hanya penegakan hukum, tapi pencegahan juga sangat penting. Di sini peran pemerintah daerah sangat penting, khususnya dalam menangani isu radikalisme dan terorisme di daerah masing-masing,” ujar Suhardi Alius.
Pada kesempatan itu, mantan Kapolda Jabar ini menyampaikan bagaimana cara mengidentifikasi masalah-masalah radikalisme dan terorisme yang ada di wilayah. Pasalnya, para pelaku terorisme, mantan napiter, dan orang yang baru pulang dari daerah konflik seperti Suriah ada di daerah, ada di daerah-daerah.
“Pemda jangan cuek. Harus dilakukan identifikasi secara berkesinambungan. Saya menantang Pemda untuk mengambil peran penanggulangan terorisme di wilayahnya secara aktif. BNPT memang harus turun ke lapangan, tapi tolong Pemda juga bisa memberikan akses, seperti akses ekonomi, kesejahteraan, dan pendidikan, supaya mereka terputus dari mata rantai sebelumnya,
papar Suhardi.
Ia memaparkan bahwa mantan napiter butuh kesempatan kedua untuk hidup lebih baik. Tapi saat mereka yang dari dasar hatinya (internal) sudah ingin baik, tapi justru dari faktor eksternalnya yaitu masyarakat malah tidak bisa menerima dan memarijinalkan mereka. Yang terjadi kemudian, mereka kehilangan harapan (hopeless) sehingga berpikir kembali ke jaringan lama.
“Tapi kalau mereka dipantau diberikan akses, dibimbing, dan diingatkan, tentu ada proses pembelajaran kepada mereka. Ini yang kita harapkan peran aktif Pemda, karena mereka ada di daerah,” tutur Suhardi.
Selain itu, di era kemajuan informasi teknologi ini, mantan Sestama Lemhanas juga mengajak Pemda dan masyarakat untuk bijaksana menggunakan media sosial (medsos). Menurutnya, kemajuan informasi ini dunia seperti dalam genggaman. Bahkan sebagai besar orang yang terpapar radikalisme dan paham negatif lainnya, karena faktor informasi teknologi ini.
Ia berharap, Pemda tidak langsung responsif dengan keberadaan medsos dengan berbagai dinamikanya seperti hoax (berita bohong), ujaran kebencian (hate speech), dan lain-lain. Tapi, mereka bisa melihat bagaimana konten-konten itu bisa diverirfikasi dan difilter, termasuk kepada seluruh penduduk. Itu penting supaya jangan gampang terpengaruh dan bisa menentukan bagaimana pola pengembangan radikalisme di lingkungan pendidikan, masyarakat, sehingga bisa dilaporkan dengan cepat.
“Karena sasarannya publik, disini kemampuan masyarakat untuk memfilter dan memverifikasi sangat penting. Jangan langsung dishare, biasakan saring sebelum sharing. tTolong diskusikan dengan baik dengan teman, guru, keluarga, jangan mudah terpancing isu-isu yang bersifat negatif,” tegas Suhardi.