Media massa, baik cetak maupun elektronik, dalam kasus terorisme merupakan instrumen paling efektif untuk memberi informasi kepada publik. Namun, media justru mengalami hal dilematis saat memberitakan terorisme. Di satu sisi, media ingin melakukan pemberitaan realis dan aktual. Namun di sisi lain, pemberitaan yang realis juga tak jarang menimbulkan komplikasi masalah baru.
Sebagai contoh pemberitaan kasus serangan bom di Hotel Taj Mahal di kota Mumbai, India, pada tahun 2008 lalu. Pada kejadian tersebut, ada sejumlah teroris yang tidak sempat melarikan diri dari hotel ketika pihak keamanan mengepung pasca pengeboman terjadi. Hal tersebut kemudian disiarkan secara langsung oleh banyak saluran televisi meskipun pihak berwajib telah melarangnya. Pihak media berdalih bahwa siaran langsung tersebut merupakan hak publik untuk memperoleh informasi. Akibatnya justru fatal, para tersangka teroris memanfaatkan siaran langsung tersebut untuk menyerang balik pasukan keamanan yang mengepungnya. Alhasil, belasan aparat keamanan pun tewas di lokasi pengepungan.
Hal terburuk dari kasus di atas adalah mampu menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang serupa, yakni aksi terorisme dan radikalisme. Dengan kata lain, tayangan televisi atau bentuk media massa lainnya alih-alih menjadi sarana informasi publik malah jutru menjadi propaganda bagi kalangan radikal dan teroris melancarkan tujuannya.
Karena itu, ada baiknya penggiat media massa melakukan pemilihan program-program yang tidak memicu timbulnya masalah baru yang lebih kompleks. Mungkin media massa dapat memilih program talkshow berisi perdamaian dan toleransi. Atau dapat pula disiarkan melalui iklan-iklan pendek di televisi, radio, dan jenis media massa lainnya.
Lebih jauh, mengingat kian majunya perkembangan teknologi informasi dewasa ini, maka diperlukan kontra propaganda yang aktif pula di sana. Internet sebagai salah satu instrumen informasi saat ini, menjadi alat yang potensial untuk dimanfaatkan oleh terorisme dalam melancarkan propaganda jahatnya. Adalah tugas pemerintah untuk mendorong masyarakat bersikap moderat dengan aktif mengkampanyekan anti terorisme. Khsusunya mengenai aksi radikalisme yang mengatas namakan agama, diperlukan juga bantuan peran tokoh agama untuk memberikan materi-materi yang bersifat moderat dan toleran di dunia maya sehingga jangkauannya dapat mencapai banyak orang di seluruh Indonesia, dan bahkan dunia.
Selain itu, diperlukan pula peran pemerintah dalam memberikan sosialisasi secara kontinyu mengenai bahaya terorisme kepada masyarakat, dari berbagai kalangan. Secara bersamaan, pemerintah pun diharapkan terus menyebarkan sosialisasi hidup damai dan saling bertoleransi yang disampaikan kepada seluruh lini masyarakat. Adapun dari masyarakatnya sendiri, yakni kita, diharapkan dapat terus memupuk semangat persataun dan kesatuan bangsa sehingga diri terhindarkan dari ancaman propaganda terorisme yang jahat.